Ad Code

Responsive Advertisement

Israiliyat dalam Tradisi Tafsir NU

Sejarah perkembangan Islam di Nusantara tidak dapat dipisahkan dari tradisi literasi dan intelektual yang dibawa oleh para ulama dari Timur Tengah. Dalam proses transmisi keilmuan ini, tafsir Al-Qur'an menempati posisi sentral. Namun, tubuh tafsir klasik yang menjadi rujukan utama di pesantren-pesantren Nahdlatul Ulama (NU) bukanlah entitas yang monolitik; ia menampung berbagai aliran, riwayat, dan narasi, termasuk apa yang disebut sebagai Israiliyat.

Berbeda dengan gerakan puritan yang cenderung melakukan "pembersihan" radikal, NU memilih jalan tawasuth (moderat). Dalam konteks Israiliyat, sikap ini tercermin dalam upaya filtrasi teologis yang ketat melalui mekanisme sanad keilmuan tanpa membuang sepenuhnya khazanah masa lalu.

1. Definisi dan Akar Historis Israiliyat

Secara terminologi, Israiliyat merujuk pada pengaruh budaya asing, baik Yahudi maupun Nasrani, yang menyusup ke dalam tafsir Al-Qur'an. Masuknya narasi ini adalah konsekuensi logis dari interaksi antara umat Islam awal dengan Ahli Kitab. Ketika Al-Qur'an menuturkan kisah para nabi secara global (ijmal), rasa ingin tahu mendorong para sahabat mencari detailnya kepada mereka yang memiliki pengetahuan Taurat dan Injil.

Empat tokoh utama yang sering diidentifikasi sebagai sumber transmisi ini dalam literatur tafsir adalah:

  • Abdullah bin Salam: Pendeta Yahudi yang masuk Islam dan memiliki kredibilitas tinggi.
  • Ka'ab al-Ahbar: Sumber utama kisah detail penciptaan dan nabi terdahulu.
  • Wahab bin Munabbih: Tabi'in yang dikenal luas pengetahuannya tentang legenda pra-Islam.
  • Abdul Malik bin Abdul Aziz Al-Juraij: Ulama asal Romawi (Nasrani) yang membawa narasi tradisi Kristen.

2. Epistemologi dan Klasifikasi: Filter Aswaja

Ulama NU tidak memandang Israiliyat sebagai satu entitas tunggal. Mengikuti jejak Ibnu Katsir dan ulama klasik, tradisi pesantren membagi Israiliyat ke dalam tiga kategori hukum:

Kategori Definisi Teologis Sikap Hukum NU Contoh Narasi
Maqbul (Diterima) Sesuai dengan Al-Qur'an/Sunnah atau dikonfirmasi kebenarannya. Mubah (Boleh sebagai penguat/syawahid). Detail fisik tongkat Musa, nama tempat bersejarah yang valid.
Mardud (Ditolak) Bertentangan dengan Syariat, Akal, atau 'Ismah al-Anbiya (kemaksuman nabi). Haram (Kecuali untuk membantah). Nabi Daud dituduh berzina, Tuhan merasa lelah, Malaikat minum khamr.
Maskut 'Anhu Netral (Tidak ada dalil yang membenarkan atau mendustakan). Tawaqquf (Abstain: tidak dibenarkan, tidak didustakan). Nama istri Nuh, warna anjing Ashabul Kahfi, jenis kayu bahtera.

3. Dinamika Kitab Tafsir Rujukan Pesantren (Al-Kutub Al-Mu'tabarah)

Di lingkungan pesantren, kitab tafsir dikaji melalui metode sorogan dan bandongan, di mana peran Kyai sangat krusial sebagai filter aktif terhadap teks.

Tafsir Jalalain

Merupakan kitab wajib dasar di pesantren. Meskipun ringkas, Tafsir Jalalain terkadang memuat riwayat Israiliyat (seperti kisah Harut Marut) tanpa penanda jelas. Di sinilah Kyai memberikan catatan lisan (ta'liq) kepada santri untuk tidak meyakini bagian yang bermasalah secara akidah.

Tafsir Al-Munir (Marah Labid)

Karya Syekh Nawawi Al-Bantani ini merefleksikan corak Nusantara. Beliau memasukkan kisah Israiliyat tertentu (misalnya tentang Nabi Sulaiman) lebih sebagai unsur estetika cerita (tahsin) untuk pendekatan dakwah kultural, namun sangat berhati-hati menjaga prinsip teologis.

Tafsir Al-Ibriz

Karya KH. Bisri Mustofa ini menggunakan pendekatan pragmatik budaya Jawa. Dalam kisah Nabi Yusuf, beliau menggunakan narasi yang dramatis (terkadang mengambil unsur Israiliyat) untuk membangun ketegangan cerita, namun menyisipkan pesan moral (implikatur) yang kuat tentang pengendalian diri.

4. Reformasi Tafsir: Kritik Quraish Shihab

Prof. Dr. M. Quraish Shihab, sebagai tokoh tafsir jebolan Al-Azhar yang diterima luas kalangan Nahdliyin, membawa pendekatan kritis dalam Tafsir Al-Mishbah. Beliau secara tegas menolak riwayat yang merusak akidah, seperti:

"Kisah Harut dan Marut sebagai malaikat yang minum khamr dan berzina adalah mustahil secara teologis karena bertentangan dengan sifat malaikat yang taat (la ya'shunallah). Riwayat ini adalah infiltrasi mitos Yahudi yang harus dibersihkan."

5. Isu Krusial: Penciptaan Hawa dan Gender

Salah satu dampak sosial Israiliyat adalah pandangan bias gender yang bersumber dari narasi "Hawa tercipta dari tulang rusuk yang bengkok".

Ulama NU kontemporer dan aktivis gender (seperti di LKKNU) mulai mengadopsi penafsiran alternatif bahwa "min nafsin wahidah" (An-Nisa: 1) bermakna Hawa diciptakan dari jenis yang sama (manusia), bukan dari bagian tubuh Adam secara harfiah. Hadis tentang tulang rusuk dimaknai secara metaforis (majaz) sebagai karakter alami yang harus disikapi dengan kelembutan, bukan legitimasi subordinasi perempuan.

6. Mekanisme Kelembagaan: Bahtsul Masail

NU memiliki mekanisme Bahtsul Masail untuk menjaga standarisasi. Jika sebuah riwayat dalam kitab tafsir bertentangan dengan kitab akidah standar (seperti Jauharatut Tauhid), maka riwayat tersebut dikesampingkan. Ini menunjukkan bahwa di NU, akidah menjadi panglima yang mengadili validitas riwayat sejarah.

Kesimpulan

Sikap Nahdlatul Ulama terhadap Israiliyat mencerminkan kedewasaan intelektual: tidak menelan mentah-mentah, namun juga tidak membuang membabi buta. Melalui filter sanad, otoritas Kyai, dan forum Bahtsul Masail, Israiliyat dikelola agar tetap menjadi khazanah pengetahuan tanpa merusak kemurnian akidah umat.

Referensi: Disarikan dari berbagai literatur riset tafsir Nusantara dan dokumen Bahtsul Masail NU.