Ad Code

Responsive Advertisement

Analisis Tematik (Tafsir Maudhu’i): Konsep Hunian dan Rumah dalam Al-Qur’an

Pendahuluan: Visi Al-Qur'an tentang Hunian—Dari Perlindungan Fisik Menuju Transendensi Spiritual

Dalam Al-Qur'an, konsep "hunian" atau "rumah" melampaui sekadar definisi arsitektural sebagai tempat perlindungan dari panas dan hujan.[1] Teks suci Al-Qur'an mentransformasi konsep hunian dari struktur fisik menjadi sebuah institusi spiritual, sosial, dan legal yang fundamental. Hunian dalam visi Al-Qur'an adalah sebuah mikrokosmos dari tatanan ilahi, berfungsi sebagai arena utama untuk tarbiyah (pendidikan) dan ibadah keluarga, serta menjadi garis depan di mana adab (etika) dan kesucian privasi diuji.

Analisis tematik (maudhu'i) ini akan membedah bagaimana Al-Qur'an menyajikan sebuah spektrum hunian yang lengkap. Spektrum ini dimulai dari kebutuhan paling dasar manusia akan ketenangan psikologis (Maskan), bergerak ke rumah sebagai pusat ibadah dan kehormatan (Bait), yang kemudian diatur oleh hukum ilahi yang ketat (Adab al-Buyut). Spektrum ini diilustrasikan melalui ujian dalam narasi para nabi (Qasas al-Anbiya), dan pada akhirnya, berpuncak pada tujuan eskatologis manusia: hunian abadi (Daar al-Akhirah).

Kajian ini akan menunjukkan bahwa cara seorang individu mengelola hunian duniawinya—bagaimana ia menjaga privasinya [2], mengisinya dengan ibadah [3], dan berupaya menjadikannya sumber ketenangan (Sakinah) [1]—merupakan cerminan langsung dari pemahamannya akan tujuan hidup dan kerinduannya terhadap "rumah" sejatinya di akhirat, yaitu Jannatul Ma'wa (Surga tempat kembali).[4]

Bagian 1: Leksikon Hunian—Analisis Semantik Istilah-Istilah Kunci dalam Al-Qur’an

Al-Qur'an menggunakan beragam terminologi untuk merujuk pada "hunian", di mana setiap istilah memiliki nuansa makna dan implikasi teologis yang spesifik dan mendalam. Memahami perbedaan semantik ini adalah kunci untuk membuka visi Al-Qur'an tentang rumah.

Sub-bagian 1.1: Al-Bait (الْبَيْت): Rumah sebagai Institusi Ibadah dan Kehormatan

Istilah Bait (jamak: Buyut) adalah istilah yang paling umum. Secara etimologis, ia berasal dari kata bāta yabītu, yang berarti "tempat bermalam" atau "tempat menetap".[1, 5] Al-Qur'an menggunakannya untuk merujuk pada tempat tinggal manusia secara umum.[6]

Namun, penggunaan paling signifikan dan mulia dari istilah Bait adalah untuk merujuk pada Ka'bah, yaitu Baitullah (Rumah Allah).[1] Al-Qur'an mengabadikan momen ketika Nabi Ibrahim A.S. dan Nabi Ismail A.S. membangunnya:

وَإِذْ يَرْفَعُ إِبْرَاهِيمُ الْقَوَاعِدَ مِنَ الْبَيْتِ وَإِسْمَاعِيلُ رَبَّنَا تَقَبَّلْ مِنَّا ۖ إِنَّكَ أَنتَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُ

Artinya: "Dan (ingatlah), ketika Ibrahim meninggikan (membina) dasar-dasar Baitullah bersama Ismail (seraya berdoa): 'Ya Tuhan kami terimalah daripada kami (amalan kami), sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui'." (QS. Al-Baqarah: 127).[7, 8, 9]

Pembangunan Baitullah ini didasari oleh doa.[7, 10] Fungsinya ditetapkan dalam QS. Al-Baqarah: 125 sebagai matsābah (tempat berkumpul bagi manusia) dan amn (tempat yang aman). Allah S.W.T. secara spesifik memerintahkan: "Bersihkanlah rumah-Ku (thohhira baitiya) untuk orang-orang yang thawaf, yang i’tikaf, yang ruku’, dan yang sujud".[11]

Penggunaan istilah Bait yang sama untuk Ka'bah dan untuk rumah tinggal manusia bukanlah sebuah kebetulan. Ini adalah penetapan standar teologis. Baitullah adalah Bait yang ideal: ia suci (thohhira), aman (amn), dan didedikasikan murni untuk ibadah.[11] Dengan demikian, Al-Qur'an secara implisit menginstruksikan bahwa Bait (rumah) seorang Muslim harus meniru fungsi luhur Baitullah. Rumah seorang Muslim adalah Baitullah dalam skala mikro—sebuah tempat yang harus "disucikan" dari kekejian dan kemusyrikan, "aman" bagi penghuninya, dan menjadi pusat ibadah (shalat, membaca Al-Qur'an) bagi keluarga.

Sub-bagian 1.2: Al-Maskan (الْمَسْكَن): Hunian sebagai Sumber Sakinah (Ketenangan Batin)

Jika Bait menekankan fungsi ibadah dan institusi, Maskan (jamak: Masākin) menekankan fungsi psikologis hunian. Istilah ini berasal dari akar kata S-K-N (Sin-Kaf-Nun), yang melahirkan kata sakinah, artinya "tenang" atau "tentram".[1, 5, 6]

Fungsi ini ditegaskan dalam QS. An-Nahl: 80, yang secara fundamental mendefinisikan tujuan rumah bagi manusia:

وَاللَّهُ جَعَلَ لَكُم مِّن بُيُوتِكُمْ سَكَنًا

Artinya: "Dan Allah menjadikan bagimu rumah-rumahmu (buyutikum, dari Bait) sebagai tempat tinggal (sakana).".[12, 13, 14]

Ayat ini secara eksplisit menghubungkan Bait (struktur) dengan Sakan (ketenangan/fungsinya). Bait adalah wadah fisik, sedangkan Sakan adalah isi dan tujuan psikologisnya.

Lebih jauh, Al-Qur'an menjelaskan bagaimana ketenangan (sakinah) itu dicapai di dalam rumah. Kunci untuk memahami ini terdapat dalam QS. Ar-Rum: 21:

وَمِنْ آيَاتِهِ أَنْ خَلَقَ لَكُم مِّنْ أَنفُسِكُمْ أَزْوَاجًا لِّتَسْكُنُوا إِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُم مَّوَدَّةً وَرَحْمَةً

Artinya: "Dan di antara tanda-tanda (kebesaran)-Nya ialah Dia menciptakan pasangan-pasangan untukmu dari jenismu sendiri, agar kamu cenderung dan merasa tenteram (litaskunū) kepadanya, dan Dia menjadikan di antaramu rasa kasih (mawaddah) dan sayang (rahmah).".[1]

Sintesis dari QS. An-Nahl 80 dan QS. Ar-Rum 21 memberikan pemahaman yang mendalam. Sakinah (ketenangan) di dalam rumah tidak dihasilkan oleh kemewahan fisik bangunan, melainkan oleh kualitas hubungan di dalamnya. Sakinah (ketenangan) bersumber dari pasangan (Azwaj), yang kemudian mekar menjadi mawaddah (cinta kasih) dan rahmah (kasih sayang).[1] Ini mengarah pada sebuah kesimpulan bahwa dalam Al-Qur'an, Maskan (rumah yang ideal) bukanlah sekadar tempat (place), melainkan sebuah keadaan perasaan (an emotional state). Sebuah istana yang megah bisa jadi bukan Maskan jika di dalamnya tidak ada mawaddah, sementara tenda sederhana (seperti yang juga disebut dalam lanjutan QS. An-Nahl 80) [13] bisa menjadi Maskan yang sempurna jika dipenuhi sakinah.

Sub-bagian 1.3: Ad-Daar (الدَّار): Konotasi Tempat Tinggal yang Terikat pada Nasib

Istilah Daar (jamak: Diyār) memiliki makna yang lebih luas, seringkali merujuk pada "kampung" atau "negeri".[6] Secara signifikan, Al-Qur'an sering menggunakan istilah ini untuk menciptakan sebuah kontras teologis yang kuat antara hunian duniawi dan hunian abadi.

Al-Qur'an menyebut akhirat sebagai Ad-Daar al-Akhirah (Negeri Akhirat) [6] dan surga sebagai Daar as-Salam (Negeri Kedamaian). Sebaliknya, tempat tinggal orang fasik disebut Daar al-Fasiqin. Berbeda dengan Bait (fokus pada ibadah) atau Maskan (fokus pada psikologi), Daar berfokus pada lokasi teritorial dan nasib kolektif yang terikat pada lokasi tersebut. Dengan menyebut akhirat sebagai Daar, Al-Qur'an membingkai ulang seluruh hunian duniawi kita sebagai Daar ad-Dunya (negeri dunia) yang bersifat sementara dan fana. Ini adalah pengingat untuk tidak terlalu berinvestasi secara emosional pada Daar duniawi, dan lebih fokus menggunakan Bait/Maskan kita sebagai sarana untuk membangun Daar yang kekal di akhirat.

Sub-bagian 1.4: Istilah Lainnya (Manzil, Ma'wa, Mustaqar, Mustawda')

Al-Qur'an juga menggunakan istilah-istilah lain yang lebih spesifik untuk menggambarkan nuansa hunian sebagai bagian dari perjalanan eksistensial manusia:

  • Manzil (مَنْزِل): Berarti tempat singgah atau kedudukan. Ini menyiratkan hunian sebagai sebuah "pemberhentian" dalam sebuah perjalanan.[1, 6, 15]
  • Ma'wa (مَأْوَى): Berarti tempat kembali atau tempat berlindung (refuge).[6, 16]
  • Mustaqar (مُسْتَقَرّ): Berarti tempat menetap (dwelling place).[17]
  • Mustawda' (مُسْتَوْدَع): Berarti tempat penyimpanan atau titipan sementara (temporary storage).[17]

Pasangan istilah Mustaqar dan Mustawda' muncul dalam QS. Al-An'am: 98, "Dan Dialah yang menciptakan kamu dari diri yang satu (Adam), maka (bagimu) ada tempat menetap (famustaqarrun) dan tempat simpanan (wa mustawda'un)".[18, 19]

Para mufasir, seperti Ibnu Mas'ud dan Ibnu Abbas, memberikan beberapa interpretasi untuk pasangan ini [20, 21]:

  1. Mustaqar (menetap) di dalam rahim ibu, dan Mustawda' (disimpan) di dalam sulbi ayah.
  2. Mustaqar (menetap) di dunia ini, dan Mustawda' (disimpan) di dalam kubur.

Perbedaan tafsir ini [20, 21] justru memperkuat satu tema sentral: bahwa seluruh eksistensi manusia adalah sebuah perjalanan antar hunian sementara. Kita "disimpan" (mustawda') di sulbi, "menetap" (mustaqar) di rahim, "menetap" (mustaqar) di dunia, dan "disimpan" (mustawda') di kubur.

Rangkaian hunian sementara ini secara alami menyiratkan pencarian akan hunian final. Al-Qur'an kemudian menyajikan dua Mustaqar (tempat menetap final) yang bersifat antitesis:

  1. Hunian Kebaikan: Jannatul Ma'wa (Surga Tempat Kembali/Berlindung).[4, 16, 22] Ia disebut Ma'wa (tempat kembali) karena, menurut sebagian tafsir, ia adalah "hunian asli manusia" (man's original abode), tempat Nabi Adam A.S. dan Hawa diciptakan.[4]
  2. Hunian Keburukan: Jahannam, yang secara spesifik disebut sebagai "seburuk-buruk tempat menetap (mustaqarran) dan tempat kediaman" (QS. Al-Furqan: 66).[23, 24, 25]

Leksikon hunian dalam Al-Qur'an, dengan demikian, adalah sebuah narasi lengkap tentang eksistensi manusia: dimulai dari Bait (institusi spiritual) dan Maskan (ketenangan psikologis) di dunia fana (Daar ad-Dunya), melalui serangkaian Mustawda' (penitipan), untuk mencapai Mustaqar (penetapan) final, yaitu Ma'wa (kembali ke Surga) atau Sa'at Mustaqarran (Neraka).

Tabel 1: Perbandingan Semantik Istilah Hunian dalam Al-Qur'an

Istilah (Terminologi) Akar Kata (Etimologi) Makna Leksikal (Arti Dasar) Makna Kontekstual & Teologis (Fungsi dalam Al-Qur'an) Ayat Kunci (Contoh Referensi)
Bait (بَيْت) B-Y-T (bermalam) Tempat bermalam, struktur Institusi spiritual, pusat ibadah, kehormatan, tempat menetap.[1] QS. 2:127 (Baitullah) [7], QS. 16:80 (Buyutikum) [13]
Maskan (مَسْكَن) S-K-N (tenang) Tempat tinggal Fungsi psikologis: hunian sebagai sumber sakinah (ketenangan).[1, 6] QS. 9:24, QS. 16:80 (dinisbahkan ke Sakan)
Sakan (سَكَن) S-K-N (tenang) Ketenangan, kediaman Kualitas ketenangan dan ketentraman yang diperoleh dari hunian.[1, 13] QS. 16:80 (Buyutikum Sakana) [13]
Daar (دَار) D-W-R (berputar, wilayah) Negeri, wilayah, rumah besar Hunian teritorial yang terkait nasib kolektif (dunia vs. akhirat).[1, 6] QS. 6:127 (Dar as-Salam), QS. 28:83 (Ad-Dar al-Akhirah)
Manzil (مَنْزِل) N-Z-L (turun, singgah) Tempat singgah, kedudukan Hunian sebagai pemberhentian sementara atau status kedudukan.[1, 6, 15] QS. 23:29 (munzalan mubarakan)
Ma'wa (مَأْوَى) A-W-Y (berlindung) Tempat kembali, pelindungan Hunian sebagai refuge (pelindungan) atau destinasi akhir.[6, 16] QS. 53:15 (Jannatul Ma'wa) [4]
Mustaqar (مُسْتَقَرّ) Q-R-R (menetap) Tempat menetap (permanen) Penetapan eksistensial (di rahim, di dunia, atau di akhirat).[17, 20] QS. 6:98 (Mustaqarrun) [18], QS. 25:66 (Sa'at Mustaqarran) [23]
Mustawda' (مُسْتَوْدَع) W-D-' (menyimpan) Tempat titipan (sementara) Hunian transien/tempat penyimpanan (sulbi ayah, kubur).[17, 20] QS. 6:98 (Mustawda'un) [18]

Bagian 2: Fondasi Teologis Rumah—Sakinah, Perlindungan, dan Pusat Ibadah

Setelah membedah terminologi, bagian ini mengelaborasi fungsi-fungsi utama rumah sebagai institusi teologis dan sosial, dengan sakinah sebagai fondasinya.

Sub-bagian 2.1: Buyutikum Sakana: Tafsir Mendalam QS. An-Nahl 80

Ayat "Dan Allah menjadikan bagimu rumah-rumahmu (buyutikum) sebagai tempat tinggal (sakana)" (QS. An-Nahl: 80) [12, 13] adalah fondasi utama dari seluruh fungsi rumah dalam Islam. Ayat ini menetapkan bahwa sakan (ketenangan) adalah pemberian (nikmat) ilahi yang inheren dalam konsep bait.

Secara brilian, ayat ini menyandingkan dua jenis hunian: buyut (rumah permanen, yang dibangun) dan "rumah-rumah (kemah-kemah) dari kulit binatang ternak (buyūtan min julūdil an'ām)".[13] Kemah-kemah ini bersifat ringan, mudah dibawa saat bepergian (yauma zha'nikum) dan mudah didirikan saat bermukim (wa yauma iqāmatikum).[13, 14]

Fakta bahwa Al-Qur'an menyebut keduanya (rumah permanen dan tenda portabel) dalam satu nafas sebagai nikmat Allah yang valid [13, 14] merupakan penolakan Qur'ani terhadap materialisme. Ia menegaskan bahwa sakinah (ketenangan) tidak terletak pada kemegahan, kemewahan, atau kepermanenan bangunan, tetapi pada fungsi perlindungan, istirahat, dan ketenangan yang diberikannya.[5] Sakinah dapat ditemukan oleh seorang musafir di dalam tendanya [13, 14] sama pastinya seperti ia dapat ditemukan oleh seorang penduduk kota di dalam rumah batunya. Dalam visi Al-Qur'an, fungsi teologis-psikologis mengalahkan bentuk arsitektural.

Sub-bagian 2.2: "Rumahku Surgaku": Membangun Keluarga Sakinah, Mawaddah, wa Rahmah

Konsep populer "Rumahku Surgaku" (Baiti Jannati) [3] adalah manifestasi praktis dari upaya mewujudkan Maskan (hunian tenang) [1] dan Sakan (ketenangan) [13] di dunia nyata. Kunci untuk mencapainya bukanlah pada struktur fisik, melainkan pada isi dari rumah tersebut.

Isi utama dari rumah yang laksana surga adalah kualitas hubungan di dalamnya. Sebagaimana telah dianalisis dalam QS. Ar-Rum: 21, sakinah (ketentraman) adalah fondasi yang melahirkan mawaddah (cinta kasih) dan rahmah (kasih sayang) di antara para penghuninya, terutama antara suami dan istri.[1]

Rumah (Bait) adalah panggung tempat drama teologis mawaddah dan rahmah ini dimainkan. Tanpa Bait sebagai ruang privat yang aman, sakinah keluarga sulit terwujud. Hadits Nabi S.A.W. pun menegaskan hal ini dengan menyebut al-mar'ah as-shalihah (istri yang shalihah) sebagai "sebaik-baik kesenangan dunia" [3], yang secara esensial merupakan inti dari rumah yang berfungsi laksana surga.

Sub-bagian 2.3: "Rumah yang Di dalamnya Dibacakan Ayat Allah": Fungsi Edukasi (Tarbiyah) dan Ibadah

Untuk mencapai status "Rumahku Surgaku" [3], rumah tidak boleh menjadi ruang yang mati dan pasif. Ia harus dihidupkan melalui dua pilar utama: ibadah dan pendidikan.

Pertama, rumah harus berfungsi sebagai pusat ibadah. Ini sejalan dengan perintah untuk meniru Baitullah (Ka'bah) [11], yang merupakan pusat ibadah.[11] Sebuah rumah dihidupkan dengan menjadikannya tempat "membaca Al-Qur'an, mendirikan shalat sunnah, dan melakukan zikir".[3] Aktivitas ibadah ini, seperti yang diindikasikan dalam fikih, secara spiritual "membersihkan" rumah, melindunginya dari gangguan setan [26], dan mengundang sakinah ilahiah.

Kedua, rumah adalah lingkungan pendidikan (tarbiyah) pertama dan utama (al-madrasah al-ūla) bagi seorang anak.[27] Di dalam keluargalah anak pertama kali belajar, meniru perilaku orang tuanya [27], dan di sinilah fondasi akidah—yaitu tauhid—harus diajarkan sejak usia dini melalui teladan dan pendidikan.[27, 28]

Kedua fungsi ini saling terkait erat. Ibadah (shalat, zikir) [3] adalah mekanisme praktis untuk mengundang sakinah. Sakinah (ketenangan) ini adalah prasyarat mutlak untuk tarbiyah (pendidikan).[27] Sebuah rumah yang kacau, bising, dan tidak tenang (ghairu sakinah) tidak dapat menjadi lingkungan belajar (bi'ah ta'limiyah) yang efektif bagi penanaman nilai-nilai luhur.[3, 27] Dengan demikian, fungsi ibadah dan pendidikan di dalam rumah adalah mekanisme praktis untuk mengubah Bait (struktur fisik) menjadi Maskan (surga psikologis).

Bagian 3: Adab al-Buyut—Fikih Privasi dan Etika Sosial dalam Hunian

Untuk melindungi fungsi sakinah dan tarbiyah yang sakral di dalam rumah, Allah S.W.T. tidak membiarkannya tanpa perlindungan. Al-Qur'an dan Sunnah menetapkan kerangka hukum (fikih) dan etika (adab) yang ketat untuk mengatur interaksi dengan hunian, yang dikenal sebagai Adab al-Buyut (Etika Rumah).

Sub-bagian 3.1: Isti'dzan (Meminta Izin): Tafsir Ahkam Surah An-Nur Ayat 27-29

Fondasi hukum privasi rumah tertuang dalam Surah An-Nur, ayat 27-29. Ayat 27 dimulai dengan panggilan tegas kepada orang beriman:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَدْخُلُوا بُيُوتًا غَيْرَ بُيُوتِكُمْ حَتَّىٰ تَسْتَأْنِسُوا وَتُسَلِّمُوا عَلَىٰ أَهْلِهَا

Artinya: "Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memasuki rumah yang bukan rumahmu sebelum meminta izin (tasta'nisu) dan memberi salam kepada penghuninya...".[2, 29, 30]

Ayat ini dilanjutkan dengan instruksi bahwa jika tidak ada seorang pun di dalamnya, jangan masuk. Dan jika penghuni berkata "Kembalilah", maka hendaklah kembali.[2, 29]

Hikmah (Tujuan Hukum): Hikmah utama di balik syariat isti'dzan (meminta izin) ini adalah untuk melindungi privasi penghuni. Secara spesifik, tujuannya adalah "untuk mencegah seorang [tamu] melihat aurat atau hal-hal yang sifatnya privasi yang haram untuk dilihat".[2] Isti'dzan adalah mekanisme hukum (fikih) yang didesain untuk menjaga Sakinah (fungsi teologis). Ketenangan (sakinah) tidak mungkin ada tanpa jaminan privasi yang mutlak.

Analisis Tafsir Komparatif:

Para mufasir telah mengelaborasi rincian hukum dari ayat ini, menunjukkan betapa pentingnya ia:

  • Cakupan Hukum: M. Quraish Shihab dalam Tafsir Al-Misbah menegaskan bahwa larangan memasuki rumah tanpa izin ini berlaku bagi siapapun yang bukan penghuni tetap, "baik keluarga dekat atau famili".[30] Ini menunjukkan bahwa hubungan darah tidak secara otomatis membatalkan hukum privasi.
  • Perdebatan Fikih: Studi komparatif antara mufasir seperti Fakhruddin Al-Razi dan Wahbah Al-Zuhaili menyoroti perdebatan rinci tentang aplikasi hukum ini [2]:
    1. Urutan: Apakah meminta izin didahulukan atau salam? Al-Razi berpendapat izin dulu baru salam, sementara Al-Zuhaili berpendapat salam dulu baru izin.[2]
    2. Izin untuk Mahram: Seberapa ketat aturan ini untuk kerabat mahram (misalnya, saudara laki-laki ke rumah saudara perempuan)? Al-Razi melihat adanya kelonggaran, sementara Al-Zuhaili menegaskan hukumnya tetap wajib meminta izin dan tidak boleh diabaikan.[2]
    3. Otoritas Izin: Siapa yang berhak memberi izin? Al-Razi menganggap izin dari anak kecil atau istri sudah cukup, sementara Al-Zuhaili berpendapat itu tidak cukup untuk dianggap sebagai izin sah dari pemilik rumah.[2]

Perdebatan fikih yang rinci ini [2] bukanlah sekadar legalisme. Ia mencerminkan upaya serius para fuqaha (ahli hukum Islam) untuk menyeimbangkan dua prinsip Qur'ani yang fundamental: Hifzh al-'Aurat (menjaga privasi dan kehormatan) dan Silaturahmi (menyambung hubungan keluarga). Surah An-Nur 27-29 adalah "pagar" hukum yang didirikan Allah di sekeliling Maskan.

Sub-bagian 3.2: Larangan Mengintip: Analisis Hadits dan Relevansinya dengan Surah An-Nur

Jika Surah An-Nur memberikan aturan (meminta izin), hadits-hadits Nabi S.A.W. memberikan alasan (kausa hukum) dan sanksi (hukuman) atas pelanggarannya.

Hadits yang diriwayatkan dari Sahl bin Sa'ad R.A. secara eksplisit menghubungkan izin dengan pandangan mata: "Sesungguhnya permintaan izin (isti'dzan) itu diperintahkan tidak lain adalah untuk menjaga pandangan mata" (HR. Bukhari & Muslim).[31]

Lebih jauh, sanksi atas pelanggaran privasi ini sangatlah keras. Rasulullah S.A.W. bersabda, "Barangsiapa mengintip rumah suatu kaum tanpa izin mereka, berarti telah halal bagi mereka untuk mencungkil mata orang tersebut" (HR. Bukhari & Muslim).[31, 32]

Sanksi yang sangat ekstrem ini—diperbolehkannya "mencungkil mata" [31]—secara hukum menempatkan kesucian privasi hunian (hurmatul bait) pada tingkat yang setara dengan kesucian organ tubuh (mata). Mengintip [32] bukanlah pelanggaran etika ringan; ia adalah tindakan agresi fisik terhadap hunian dan penghuninya. Oleh karena itu, pemilik rumah berhak untuk membela diri dari agresi visual tersebut, yang menegaskan betapa tinggi nilai privasi dalam Islam.

Sub-bagian 3.3: Menjaga Kehormatan Rumah Nabi: Tafsir Surah Al-Hujurat Ayat 4-5

Jika Surah An-Nur mengatur adab masuk ke dalam rumah (privasi internal), Surah Al-Hujurat mengatur adab di luar rumah (privasi eksternal). Nama surah ini sendiri, Al-Hujurāt, berarti "Kamar-kamar" [33], merujuk pada kamar-kamar (hunian privat) istri-istri Nabi S.A.W.

Ayat 4 surah ini mencela perilaku sekelompok orang Badui Arab yang datang dan berteriak-teriak memanggil Nabi S.A.W. dari luar kamar-kamar pribadi beliau [34, 35]:

إِنَّ الَّذِينَ يُنَادُونَكَ مِن وَرَاءِ الْحُجُرَاتِ أَكْثَرُهُمْ لَا يَعْقِلُونَ

Artinya: "Sesungguhnya orang-orang yang memanggil kamu (Muhammad) dari luar kamar(mu) (min warā'i al-ḥujurāt), kebanyakan mereka tidak mengerti/tidak berakal (lā ya'qilūn).".[33, 35]

Ayat 5 melanjutkan bahwa akan lebih baik jika mereka bersabar (sabaru) menunggu sampai Nabi S.A.W. keluar menemui mereka.[34]

Hujurat (kamar) adalah ruang paling privat di dalam Bait. Mengganggu penghuni dari luar dengan berteriak [35] adalah pelanggaran privasi eksternal yang secara langsung menghancurkan sakinah di dalam. Al-Qur'an secara eksplisit menghubungkan tindakan tidak beradab ini dengan kebodohan atau kegagalan menggunakan akal (lā ya'qilūn).[35]

Ini menetapkan sebuah prinsip sosial yang penting: Zona privasi sebuah rumah tidak berhenti di dinding fisik, tetapi meluas ke area di sekitarnya. Menghormati sakinah tetangga—dengan tidak berisik, tidak mengganggu, dan tidak berteriak di depan hunian mereka—adalah tanda akal ('aql) dan iman.

Sub-bagian 3.4: Privasi dalam Maqasid Syariah (Filsafat Hukum Islam)

Perlindungan terhadap hunian ini berakar pada fondasi filsafat hukum Islam, Maqasid Syariah (tujuan-tujuan syariat). Hunian yang aman adalah bagian dari kebutuhan primer atau daruriyyat manusia.[36, 37] Perlindungannya adalah bagian integral dari penjagaan lima tujuan utama syariah (maqasid syariah), terutama penjagaan terhadap jiwa (hifzh an-nafs), kehormatan (hifzh al-'irdh), dan harta (hifzh al-mal).[36]

Fikih perumahan mengatur keselamatan ini melalui tiga kaidah utama [26]:

  1. Kaidah Maslahah (Kemaslahatan): Tindakan yang diambil untuk kebaikan dan manfaat. Membangun rumah yang aman, seperti memasang pagar, jeriji besi, atau kunci ganda, adalah bagian dari maslahah untuk menjaga keselamatan penghuni.[26]
  2. Kaidah Dharar (Kemudaratan): Berdasarkan hadits fundamental, Lā dharar wa lā dhirār (Tidak boleh membahayakan diri sendiri ataupun membahayakan orang lain). Prinsip ini mengatur bahwa pembangunan atau penggunaan rumah tidak boleh membawa mudarat bagi tetangga. Ini mencakup mudarat fisik (seperti membangun rumah yang menyebabkan kecacatan binaan atau saluran air yang merusak) [26] maupun mudarat non-fisik (seperti menghalangi ventilasi atau membuat kebisingan).
  3. Kaidah 'Urf (Adat Setempat): Adat kebiasaan (al-'ādatu muhakkamah) yang baik dan wajar dalam desain atau tata kelola perumahan di suatu komunitas diakui oleh syariat, selama tidak bertentangan dengan prinsip maslahah dan dharar.[26]

Fikih juga membedakan antara keselamatan fisik dan non-fisik.[26] Keselamatan fisik mencakup struktur bangunan, mutu bahan, dan hak-hak tetangga (haqq al-jiwar). Keselamatan non-fisik mencakup perlindungan spiritual terhadap rumah, seperti anjuran untuk membaca Al-Qur'an (khususnya Surah Al-Baqarah) untuk mengusir setan, serta menutup pintu dan bejana makanan di malam hari dengan menyebut nama Allah.[26]

Kaidah La Dharar dan Haqq al-Jiwar [26] memiliki implikasi yang sangat relevan untuk tata kota (urban planning) modern. Dalam konteks ini, membangun rumah yang terlalu tinggi sehingga menghalangi sinar matahari atau ventilasi tetangga, atau membuat kebisingan yang merusak sakinah tetangga [1], adalah pelanggaran fikih terhadap kaidah Dharar. Maqasid Syariah menuntut agar pembangunan hunian tidak hanya mementingkan maslahah individu, tetapi juga maslahah komunal.

Bagian 4: Studi Kasus Hunian Ikonik dalam Narasi Para Nabi

Al-Qur'an menggunakan "hunian" sebagai elemen naratif yang sentral dalam Qasas al-Anbiya (Kisah-kisah Para Nabi). Dalam kisah-kisah ini, rumah berfungsi sebagai latar, simbol, atau arena ujian di mana iman dan adab diuji.

Sub-bagian 4.1: Baitullah (Ka'bah) — Rumah Monoteisme (Nabi Ibrahim & Ismail)

Sebagaimana telah dibahas pada Bagian 1.1, Baitullah adalah archetype (prototipe) dari Bait yang ideal. Kisah pembangunannya oleh Nabi Ibrahim A.S. dan Nabi Ismail A.S. [7, 8] adalah pelajaran tentang fondasi hunian. Bait ini "ditinggikan fondasinya" (yarfa'u al-qawā'id) [7, 9] di atas landasan doa ("Rabbanā taqabbal minnā" - Ya Tuhan kami, terimalah dari kami) [7, 10] dan didedikasikan murni untuk Tauhid (disucikan dari berhala).[11]

Imam Abdul Wahhab As Sya'rani memberikan analogi teologis yang mendalam: "Ka'bah adalah Rumah Allah di muka bumi, demikian pula 'Hati' (Qalb) pada hakekatnya adalah rumah Allah dalam diri manusia".[11] Perintah Allah kepada Ibrahim untuk mensucikan (thohhira) Ka'bah [11] adalah perintah paralel bagi manusia untuk mensucikan hati mereka. Bait (rumah hunian) seorang Muslim adalah jembatan di antara dua Baitullah ini. Rumah fisik (Bait) adalah tempat di mana hati (Qalb) yang suci menjalankan ibadah [3] yang meniru Baitullah (Ka'bah).

Sub-bagian 4.2: Bahtera Nabi Nuh — Hunian Darurat yang Didefinisikan oleh Iman

Hunian Nabi Nuh A.S. di tengah Bencana Air Bah adalah sebuah bahtera (kapal) darurat, yang digambarkan dalam Al-Qur'an sebagai terbuat dari "papan dan paku/sabut" (dzāti alwāḥiw wa dusur) (QS. Al-Qamar: 13).[38] Hunian darurat ini harus berlayar di tengah gelombang yang dahsyat, "laksana gunung" (fī maujin kal-jibāl) (QS. Hud: 42).[39]

Momen paling krusial terkait hunian ini adalah dialog antara Nuh dan putranya, Kan'an. QS. Hud: 42 mengabadikan panggilan Nuh: "Dan Nuh memanggil anaknya... 'Hai anakku, naiklah (ke kapal) bersama kami (irkab ma'anā) dan janganlah kamu berada bersama orang-orang yang kafir (wa lā takum ma'al-kāfirīn).'".[39]

Panggilan "bersama kami" (ma'anā) melawan "bersama orang-orang kafir" (ma'al-kāfirīn) adalah penetapan garis demarkasi yang baru. Ketika Kan'an menolak [39], ia tenggelam. Saat Nuh memprotes, Allah S.W.T. berfirman, "Sesungguhnya dia (Kan'an) bukanlah termasuk keluargamu (innahu laisa min ahlik)" (QS. Hud: 46).

Ini adalah momen redefinisi radikal atas konsep "rumah" dan "keluarga" (Ahl). "Hunian" (Bahtera) tidak lagi ditentukan oleh ikatan darah (nasab), tetapi oleh ikatan iman ('aqidah). Orang-orang beriman yang berbeda suku di dalam bahtera menjadi satu "keluarga" (Ahlun-Najah), sementara anak kandung Nuh A.S. yang kafir, kini menjadi "orang lain".

Sub-bagian 4.3: Rumah Nabi Lut — Ujian Kehormatan Tamu dan Kegagalan Komunitas

Kisah rumah Nabi Lut A.S. adalah antitesis dari Adab al-Buyut. Ketika para utusan (malaikat) datang ke "keluarga Lut" (āla Lūṭ) (QS. Al-Hijr: 61) [40, 41, 42], Nabi Lut A.S. merasa curiga karena tidak mengenali mereka (qaumun munkarūn).[43] Kegelisahannya terbukti. Penduduk kota Sodom (ahlul madīnah) datang ke rumahnya dengan "bergembira" (yastabsyirūn) [40] untuk melakukan perbuatan keji terhadap tamu-tamu tersebut.[44]

Konflik sentral dalam kisah ini adalah kegagalan sebuah rumah untuk melindungi tamunya. Nabi Lut A.S. memohon kepada kaumnya, "Sesungguhnya mereka ini adalah tamuku (dhayfī); maka janganlah kamu membuatku malu (falā tafdhaḥūn)" (QS. Al-Hijr: 68).[40]

Kisah ini adalah cerminan dari masyarakat yang telah runtuh adabnya. Jika Surah An-Nur [2] dan Al-Hujurat [35] adalah hukum untuk menghormati privasi rumah, kisah Lut [40] adalah konsekuensi dari masyarakat yang tidak lagi memiliki hukum tersebut. Rumah Nabi Lut A.S., meskipun merupakan rumah seorang Nabi, gagal memberikan fungsi Amn (keamanan) [11] dan Sakinah [1] bagi tamunya.

Kegagalan ini bukanlah kegagalan Nabi Lut A.S. atau rumahnya, melainkan kegagalan komunitas (ahlul madīnah) di sekitarnya.[40] Ini memberikan pelajaran penting: Kesucian sebuah rumah (Bait) tidak dapat dipertahankan dalam isolasi. Ia bergantung pada ekosistem sosial yang sehat, yang juga menghargai adab, privasi, dan kehormatan.

Sub-bagian 4.4: Istana Nabi Sulaiman — Hunian sebagai Simbol Kekuasaan dan Da'wah

Hunian Nabi Sulaiman A.S. berbeda; ia adalah sebuah istana megah, simbol kekuasaan yang direstui Allah. Nabi Sulaiman A.S. memiliki mukjizat mengendalikan angin [45] dan para jin yang bekerja untuknya.[46]

Momen kunci terkait "hunian" dalam kisah Sulaiman adalah interaksinya dengan Ratu Balqis. Dalam rangka berdakwah, Nabi Sulaiman A.S. bertanya siapa yang dapat membawa singgasana Ratu Balqis ke istananya. Jin Ifrit menawarkan diri: "Aku akan datang kepadamu dengan membawa singgasana itu sebelum kamu berdiri dari tempat dudukmu" (QS. An-Naml: 39).[47] (Kemudian, seorang yang memiliki ilmu dari Kitab melakukannya lebih cepat).

Kisah pemindahan singgasana (yang merupakan simbol kekuasaan dan "rumah" Ratu Balqis) oleh jin atau pengikut Sulaiman [47] adalah demonstrasi kekuasaan absolut Allah atas materi dan ruang. Peristiwa ini secara radikal mendekonstruksi nilai sebuah hunian fisik. Jika sebuah "istana" atau "singgasana"—simbol puncak kemegahan duniawi—dapat dipindahkan dalam sekejap mata oleh makhluk atas izin Allah, betapa tidak berartinya hunian fisik itu sendiri? Kisah ini mengajarkan bahwa "hunian" (istana, rumah) hanyalah properti fana. Yang abadi adalah ketaatan (yang ditunjukkan Sulaiman) dan keimanan (yang akhirnya dicapai Ratu Balqis setelah menyaksikan mukjizat ini).[47]

Bagian 5: Dimensi Eskatologis—Hunian Abadi di Surga dan Neraka

Kajian tematik tentang hunian dalam Al-Qur'an tidak akan lengkap tanpa menganalisis tujuan akhirnya: hunian final (Mustaqar akhir). Al-Qur'an menutup perjalanan konsep hunian dengan menyajikan dua destinasi abadi yang antitesis.

Sub-bagian 5.1: Gambaran Rumah, Istana, dan Kemah di Surga (Khiyam)

Hunian di Surga (Jannah) adalah realisasi sempurna dari Sakinah yang dicari manusia. Jika Maskan di dunia adalah upaya mencari ketenangan, hunian di Jannah adalah keadaan ketenangan abadi itu sendiri. Al-Qur'an menggambarkannya menggunakan bahasa kemewahan material yang dipahami manusia, namun dalam bentuk yang transenden [48, 49]:

  • Istana (Ghuraf): Orang-orang bertakwa akan mendapat "tempat-tempat yang tinggi (ghurafan), di atasnya dibangun pula tempat-tempat yang tinggi, yang mengalir di bawahnya sungai-sungai" (QS. Az-Zumar: 20).[48]
  • Perabotan: Para penghuni surga "berada di atas dipan yang bertahta emas dan permata" (QS. Al-Waqiah: 15).[48] Kepada mereka "diedarkan piring-piring dari emas dan piala-piala" (QS. Az-Zukhruf: 71).[48]
  • Kemah (Khiyam): Al-Qur'an juga menyebut hunian surga sebagai kemah: "(Bidadari-bidadari) yang dipingit dalam kemah-kemah (khoyam)" (QS. Ar-Rahman: 72).[50] Sebuah hadits merinci bahwa kemah ini "terbuat dari satu mutiara yang berlobang" dengan panjang 60 hasta.[50]

Deskripsi emas, permata, dan mutiara ini [48, 50] bukanlah ajakan pada materialisme. Ia adalah bahasa simbolik yang menggunakan puncak kemewahan duniawi untuk menggambarkan kenikmatan ukhrawi yang tak terbayangkan. Perbandingan antara Kemah Nuh (terbuat dari papan dan paku/sabut) [38] dengan Kemah Surga (terbuat dari satu mutiara utuh) [50] sangat kuat: hunian duniawi adalah buatan manusia (disatukan, fana, rapuh), sementara hunian surgawi adalah ciptaan Ilahi (utuh, sempurna, abadi).

Sub-bagian 5.2: Jannatul Ma'wa — Surga sebagai Rumah Tempat Kembali yang Hakiki

Secara spesifik, Al-Qur'an sering menyebut Surga sebagai Jannatul Ma'wa (Surga Tempat Kembali/Berlindung).[4, 16, 22, 51] Penggunaan istilah Ma'wa (tempat kembali) [4] memiliki makna teologis yang sangat dalam. Sebagian tafsir menyebutnya sebagai "hunian asli manusia" (man's original abode), tempat di mana Nabi Adam A.S. dan Hawa pertama kali diciptakan.[4]

Konsep Ma'wa [4] membingkai seluruh eksistensi manusia sebagai sebuah narasi "pulang". Manusia dimulai di "rumah" (Jannah), kemudian diasingkan ke Daar ad-Dunya (dunia) [6] untuk menjalani ujian. Ujian ini, seperti yang telah dibahas, berpusat pada bagaimana manusia mengelola "rumah" sementaranya: apakah ia menjadikannya Bait (tempat ibadah) [1] dan Maskan (tempat sakinah).[1] Tujuan akhir dari seluruh kehidupan ini adalah untuk lulus ujian dan pulang ke "rumah" asli kita, Jannatul Ma'wa.[4]

Sub-bagian 5.3: Antitesis Hunian: Neraka sebagai Mustaqar (Tempat Tinggal) yang Terburuk

Sebagai antitesis yang menakutkan, Al-Qur'an secara sengaja menggunakan terminologi "hunian" untuk menggambarkan Neraka.

  • "Katakanlah kepada orang-orang yang kafir: 'Kamu pasti akan dikalahkan... dan akan digiring ke dalam neraka Jahannam. Dan itulah tempat yang seburuk-buruknya (wa bi`sal-mihād).'" (QS. Ali 'Imran: 12).[52] (Mihād berarti tempat tinggal/hamparan).
  • "Yaitu neraka Jahanam, yang mereka masuk ke dalamnya; maka amat buruklah Jahanam itu sebagai tempat tinggal (bi'sal-mihād)." (QS. Sad: 56).[25]
  • Dan yang paling menohok, dalam QS. Al-Furqan: 66, orang-orang beriman (Ibadurrahman) berdoa agar dijauhkan dari Jahannam, "Sesungguhnya Jahannam itu seburuk-buruk tempat menetap (sā'at mustaqarran) dan tempat kediaman (wa muqāman).".[23]

Penggunaan kata Mustaqar (tempat menetap permanen) [23]—kata yang sama yang dicari manusia dalam QS. Al-An'am 98 [17, 20]—untuk menggambarkan Neraka adalah puncak ironi retorika Al-Qur'an.

Hunian ideal dalam Al-Qur'an adalah Bait yang memiliki Amn (keamanan) [11] dan Maskan yang memiliki Sakinah (ketenangan).[1] Neraka (Jahannam) adalah antitesis total dari semua fungsi ini. Ia adalah Mustaqar [23] di mana tidak ada sakinah, hanya azab yang kekal. Ia adalah Mihād [52] di mana tidak ada rahmah, hanya penderitaan. Ia adalah "hunian" di mana tidak ada privasi dari siksaan, dan tidak ada keamanan (amn) dari api. Ini adalah kegagalan total dan akhir yang paling buruk dalam pencarian manusia akan sebuah hunian.

Kesimpulan: Sintesis Rumah sebagai Cerminan Keimanan

Kajian tematik (maudhu'i) ini menunjukkan bahwa konsep hunian dalam Al-Qur'an adalah sebuah perjalanan spiritual yang utuh. Perjalanan ini dimulai dari nikmat Allah S.W.T. berupa Maskan—hunian yang secara fitrah dirancang untuk memberikan ketenangan (sakinah).[13]

Nikmat ini kemudian menjadi sebuah amanah (kepercayaan). Manusia dibebani amanah untuk mengisi hunian tersebut, mengubah Bait (struktur fisik) menjadi Baitullah dalam skala mikro [1, 7]—sebuah ruang yang disucikan, aman, dan dipenuhi dengan ibadah [3] dan mawaddah wa rahmah.[1]

Untuk melindungi amanah yang sakral ini, Allah S.W.T. menurunkan hukum (fikih) privasi yang ketat, yaitu Adab al-Buyut yang termaktub dalam Surah An-Nur dan Al-Hujurat.[2, 35] Hukum ini menempatkan kesucian privasi rumah pada tingkat yang setara dengan kesucian jiwa, di mana pelanggarannya diancam dengan sanksi yang berat.[31]

Selanjutnya, amanah ini diuji. Kisah-kisah para nabi—Nuh, Lut, dan Sulaiman—menunjukkan bahwa "rumah" adalah arena ujian. Ujian ini menguji definisi "keluarga" (iman di atas ikatan darah) [39], menguji integritas komunitas dalam menjaga kehormatan tamu [40], dan menguji pemahaman manusia tentang "nilai" hunian (iman di atas materi).[47]

Pada akhirnya, cara seorang Muslim mengelola Daar ad-Dunya (rumah dunianya) [6] adalah cerminan dari tujuan akhirnya. Apakah ia sedang membangun huniannya di dunia sebagai sarana untuk pulang ke Jannatul Ma'wa (Surga Tempat Kembali) [4], ataukah ia, melalui kelalaian dan maksiatnya, sedang berjalan menuju Mustaqar (tempat menetap) yang terburuk.[23] Dengan demikian, dalam Al-Qur'an, adab kita di rumah kita di dunia adalah prolog dari nasib kita di rumah kita di akhirat.