Dalam dunia Ushul Fikih, qiyas menjadi salah satu pilar penting yang membantu menggali hukum-hukum baru dari sumber-sumber yang telah disepakati. Tapi, seberapa kuatkah pijakan qiyas ini? Yuk, kita dalami bersama!
Dalam ranah ilmu Ushul Fikih, qiyas atau analogi sering kali menjadi alat utama para ulama untuk menjembatani hukum-hukum yang belum memiliki dalil langsung. Namun, seiring perjalanan waktu, qiyas juga menghadapi berbagai tantangan.
Sebagian pihak bahkan mempertanyakan keabsahannya. Lantas, mengapa qiyas tetap menjadi salah satu sumber hukum utama? Bagaimana dalil-dalil dari Al-Qur'an, sunnah, ijma’, dan akal membangun pijakannya? Artikel ini akan mengupas tuntas dua aspek penting qiyas: hujjiyah (keabsahan) dan dalalah (indikasi hukum)-nya.
Keabsahan Qiyas sebagai Sumber Hukum
Qiyas menempati posisi sebagai dalil keempat dalam syariat Islam, setelah Al-Qur’an, sunnah, dan ijma’.
Keberadaannya disepakati oleh mayoritas ulama sebagai hujjah ØُجِّÙŠَّØ©ُ القياسِ, kecuali kelompok kecil seperti Zhahiriyyah. Namun, pandangan mereka ini tidak signifikan, sebab qiyas telah digunakan sejak masa para sahabat hingga generasi berikutnya.
Apa yang Membuat Qiyas Sah?
Kesepakatan Para Sahabat dan Ulama Awal
Qiyas menempati posisi sebagai dalil keempat dalam syariat Islam, setelah Al-Qur’an, sunnah, dan ijma’. Keberadaannya disepakati oleh mayoritas ulama, kecuali kelompok kecil seperti Zhahiriyyah. Namun, pandangan mereka ini tidak signifikan, sebab qiyas telah digunakan sejak masa para sahabat hingga generasi berikutnya.
Apa yang Membuat Qiyas Sah?
Kesepakatan Para Sahabat dan Ulama Awal
Imam Al-Qurthubi menyebutkan bahwa penggunaan qiyas adalah praktik umum para sahabat dan tabi'in. Bahkan Imam Ahmad, yang sering disalahpahami seolah-olah menolak qiyas, sebenarnya hanya menolak penggunaannya saat ada nash yang jelas. Sebaliknya, beliau mengakui pentingnya qiyas bagi para mujtahid.Dalil dari Al-Qur’an
Al-Qur’an penuh dengan contoh analogi yang menunjukkan logika qiyas. Misalnya:- Kebangkitan setelah mati dianalogikan dengan pertumbuhan kembali tanaman setelah tanah mati. Allah berfirman:
“Perhatikanlah bagaimana Allah menghidupkan bumi setelah matinya. Begitulah Allah akan membangkitkan manusia setelah mati.” (QS. Ar-Rum: 50) - Allah juga mengajarkan kita untuk "beribrah" (mengambil pelajaran):
“Maka ambillah pelajaran, wahai orang-orang yang berakal.” (QS. Al-Hasyr: 2)
Hakikat ibrah adalah memahami sesuatu dengan menganalogikan kepada hal serupa.
- Kebangkitan setelah mati dianalogikan dengan pertumbuhan kembali tanaman setelah tanah mati. Allah berfirman:
Dalil dari Sunnah
Nabi Muhammad ï·º sering menggunakan qiyas dalam menjelaskan hukum. Contoh menarik adalah saat seorang pria ragu terhadap anaknya karena perbedaan warna kulit. Nabi ï·º menjawab dengan mengaitkan variasi warna pada unta sebagai contoh alami yang masuk akal (HR. Bukhari). Ini menunjukkan bahwa analogi merupakan metode pengajaran yang diakui.Ijma’ Para Ulama
Tidak ada riwayat yang menyebutkan sahabat menolak qiyas. Bahkan, para ulama seperti Ibnul Qayyim dan Abu Ya’la menegaskan ijma’ para sahabat atas keabsahan qiyas.Akal sebagai Pendukung
Secara rasional, qiyas diperlukan untuk menjawab persoalan-persoalan baru. Sebagai contoh, dalam kehidupan modern, banyak kasus hukum yang tidak disebutkan dalam teks-teks klasik. Di sinilah qiyas berperan sebagai solusi.
Dalalah Qiyas دَلالةُ القياسِ
Meski qiyas dianggap sah, ia tetap memiliki keterbatasan. Dalalah atau indikasi hukum dari qiyas bersifat zanniyah (dugaan kuat), bukan qath’iyah (pasti). Kenapa demikian? Karena hasil qiyas sangat bergantung pada kejelasan ‘illah (alasan hukum) yang menjadi dasar analogi.
Konteks Zanniyah dalam Qiyas
Imam Syafi’i mengatakan bahwa meskipun hasil qiyas dianggap benar oleh pelakunya, kebenaran absolut tetap milik Allah. Namun, hal ini tidak berarti qiyas bisa diabaikan. Sebab, kewajiban untuk menggunakannya didasarkan pada dalil-dalil yang kuat.
Qiyas adalah alat istimewa dalam Islam untuk menggali hukum dari teks-teks wahyu. Dengan dukungan dalil dari Al-Qur’an, sunnah, ijma’, dan akal, qiyas menjadi fondasi penting dalam menafsirkan dan menerapkan syariat. Namun, penggunaannya harus penuh kehati-hatian, mengingat sifatnya yang zanniyah.