Ad Code

Responsive Advertisement

Kompleksitas Tashawwur: Ketika Makna Tak Lagi Tunggal

Setiap manusia membawa dunia dalam kepalanya. Dunia itu tidak dibentuk oleh batu, air, atau udara, tetapi oleh gambaran-gambaran mental tentang segala sesuatu yang ia kenal. Itulah yang oleh para logikawan klasik disebut tashawwur (التصور)—suatu bentuk pemahaman atau representasi awal dalam akal terhadap suatu makna, sebelum seseorang memberikan penilaian atau pengakuan (tashdīq).

Fase Pertama: Dunia dalam Kepala

Tashawwur adalah seperti cermin pertama. Kita melihat sesuatu di luar, lalu memantulkannya ke dalam. Seorang anak menyebut "rumah" sebagai tempat ibu berada. Seorang pejuang menyebut "keadilan" sebagai tegaknya pembalasan. Seorang seniman menyebut "cinta" sebagai warna merah yang tak bisa dituliskan.

Di tahap awal ini, setiap orang tampaknya memahami hal-hal besar dalam hidup dengan jelas. Kita merasa telah memahami makna hidup, Tuhan, manusia, atau bebas, hanya karena kita mampu menyebutkannya. Namun, justru di situlah jebakan itu berada: tashawwur bukan kebenaran, ia hanya permulaan.

Keretakan Cermin: Kesadaran Akan Relativitas

Ketika kita menyandingkan tashawwur kita dengan orang lain, barulah retak-retak mulai tampak. Mengapa seorang menyebut Tuhan itu cahaya, sementara yang lain menyebut-Nya kekosongan? Mengapa kebebasan bagi satu bangsa berarti demokrasi, sementara bagi yang lain justru berarti ketertiban?

Keretakan ini menunjukkan bahwa tashawwur bersifat personal dan kontekstual. Ia dipengaruhi oleh bahasa, budaya, pengalaman, bahkan emosi. Maka, walaupun berasal dari asal realitas yang sama, representasi setiap individu bisa sangat berbeda. Dan inilah yang oleh filsafat kontemporer dilihat sebagai akar dari pluralitas makna, relativitas kebenaran, dan bahkan perbedaan etika dan hukum.

Penertiban Tashawwur: Dari Imajinasi Menuju Ilmu

Di titik inilah muncul kebutuhan akan penertiban. Karena jika tidak, maka setiap orang berhak atas gambaran apa pun dan tak bisa disangkal. Pengetahuan pun akan larut dalam kabut kesubjektifan.

Maka muncullah usaha para pemikir untuk menyaring, menyusun, dan menyepakati gambaran-gambaran tersebut. Ada yang menempuh jalan taʿrīf (definisi), sebagai usaha memberi batas yang tegas. Ada pula yang mengandalkan iṭṭifāq (kesepakatan linguistik) agar istilah tidak liar. Filsafat ilmu kemudian menawarkan metode verifikasi empiris dan deduksi logis sebagai penyaring kebenaran gambaran. Bahkan tafsir simbolik dan estetika digunakan untuk hal-hal yang tak bisa disempitkan dengan definisi.

Dengan ini, tashawwur tidak dihilangkan, tetapi dituntun menuju keteraturan. Ia diberi batas, diuji, dikritisi, dan ditimbang dalam konteks sosial maupun epistemologis. Ia menjadi landasan awal yang sadar diri, bukan dogma liar yang memaksakan makna.

Tashawwur sebagai Titik Awal yang Bijak

Tashawwur bukan musuh, tetapi ia juga bukan penentu akhir. Ia adalah langkah pertama, dan seperti semua langkah pertama, ia butuh arahan, pengetahuan, dan kerendahan hati.

Maka, filsafat logika tidak menghapus tashawwur, tetapi membentuknya menjadi gambaran yang dapat dipertanggungjawabkan. Dan dalam konteks kontemporer, di mana pluralitas dan relativisme tak terelakkan, kebijaksanaan menjadi satu-satunya jalan: bukan untuk menyatukan semua makna, tetapi untuk mengelola perbedaan dengan tanggung jawab intelektual.