Ad Code

Responsive Advertisement

Hikmah 1 من علامة الاعتماد على العمل


Mengungkap makna mendalam dari Hikmah Min alamatil i'timadi ala al-amali nuqsanu ar-raja'i inda wujudi az-zalal dalam kitab Al-Hikam karya Syaikh Ibnu Atha’illah as-Sakandari

Artikel ini membahas konsep ketergantungan pada amal ibadah, perbedaan antara golongan ‘abid dan murid, serta sikap orang ‘arif yang tetap bersandar pada rahmat Allah meski dalam kesalahan.

Hikmah pertama dalam kitab Al-Hikam mengajarkan tentang pentingnya bersandar pada Allah, bukan pada amal ibadah. Syaikh Ibnu Atha’illah menjelaskan bagaimana orang ‘arif (yang mengenal Allah) tetap tenang dan penuh harap meski melakukan kesalahan, karena mereka memahami bahwa segala sesuatu terjadi atas kehendak Allah.

Artikel ini akan menguraikan konsep dasar, tanda-tanda ketergantungan pada amal, hakikat ketergantungan pada Allah, serta implikasi spiritualnya dalam kehidupan sehari-hari.

مِنْ عَلاَمَةِ الِاعْتِمَادِ عَلَى العَمَلِ نُقْصَانُ الرَّجَاءِ عِنْدَ وُجُودِ الزَّلَلِ
Min ‘alāmāti al-i‘timādi ‘ala al-‘amali nuqṣānu ar-rajā’i ‘inda wujūdi az-zalal.
artinya: Di antara tanda bergantung pada amal adalah berkurangnya harapan (kepada Allah) ketika terjadi kesalahan (atau kejatuhan dalam dosa)

Syaikh Ibnu Atha’illah as-Sakandari dalam Hikmah 1 Al-Hikam mengajarkan perbedaan mendasar antara dua kelompok hamba dalam beribadah:

Golongan ‘Abid (Ahli Ibadah):
Mereka adalah orang-orang yang tekun beribadah dan meyakini bahwa amal ibadah adalah kunci keselamatan di akhirat. Mereka merasa bahwa surga dan jauhnya dari azab adalah hasil dari usaha mereka sendiri.


Golongan Murid (Pencari Hakikat Ilahi):
Mereka beribadah bukan sekadar untuk pahala, tetapi sebagai sarana mendekatkan diri kepada Allah, membersihkan hati, dan mencapai ma’rifah (pengenalan mendalam terhadap Allah).

Namun, kedua golongan ini sering terjebak dalam kekeliruan yang sama: mengandalkan amal ibadah mereka sendiri, bukan pada rahmat dan taufik dari Allah. Padahal, semua kemampuan untuk beribadah berasal dari Allah, bukan dari diri mereka sendiri.
2. Tanda Orang yang Bergantung pada Amal

Syaikh Ibnu Atha’illah memberikan tanda jelas seseorang yang bergantung pada amalnya:

Berkurangnya harapan kepada Allah saat melakukan kesalahan.
Jika seseorang merasa putus asa setelah berbuat dosa, itu menandakan bahwa sebelumnya ia menggantungkan keselamatannya pada amal ibadahnya, bukan pada rahmat Allah.

Sebaliknya, orang ‘arif tetap memiliki keseimbangan antara rasa takut dan harap. Ketika ia melakukan dosa, ia tidak putus asa, tetapi segera bertaubat dan mengakui kelemahannya di hadapan Allah. Ketika ia taat, ia tidak merasa aman dari murka-Nya, karena ia sadar bahwa ketaatannya pun adalah anugerah dari Allah.
3. Hakikat Ketergantungan pada Allah dalam Segala Hal

Orang ‘arif memahami bahwa:

Segala sesuatu terjadi atas kehendak dan takdir Allah.
Ketaatan bukan hasil usahanya sendiri, tetapi karena Allah memberinya taufik dan hidayah.


Kemaksiatan terjadi karena kelemahan dirinya, yang juga dikehendaki Allah, namun tetap harus diiringi dengan taubat dan istighfar.

Bagi orang ‘arif, ketaatan dan kemaksiatan sama-sama terjadi dalam genggaman Allah. Yang penting adalah bagaimana seseorang merespons takdir dengan sikap yang benar, yaitu tetap berpegang pada ketundukan kepada-Nya.
4. Implikasi dalam Kehidupan Spiritual

Dari hikmah ini, kita dapat mengambil beberapa pelajaran penting:

Hindari perasaan ujub (bangga diri) dalam ibadah.
Ibadah bukan jaminan keselamatan tanpa rahmat Allah. Seorang mukmin harus tetap rendah hati dan sadar bahwa tanpa pertolongan Allah, ia tidak akan mampu beribadah.


Jangan putus asa saat berbuat dosa.
Dosa bukan akhir segalanya, tetapi momen untuk kembali kepada Allah dengan taubat yang tulus. Orang ‘arif melihat dosa sebagai pengingat akan kelemahan dirinya sebagai hamba.


Rasa takut dan harap harus seimbang.
Jangan terlalu takut hingga putus asa dari rahmat Allah, dan jangan terlalu berharap hingga meremehkan dosa.


Bersandar sepenuhnya pada Allah dalam segala hal.
Jika taat, jangan sombong karena itu bukan hasil usahamu. Jika berdosa, jangan putus asa karena rahmat Allah lebih luas dari dosamu.
Penutup:

Hikmah pertama dalam Al-Hikam mengajarkan kita untuk tidak terjebak dalam kebergantungan pada amal ibadah, tetapi selalu bersandar pada rahmat dan taufik Allah. Orang ‘arif adalah mereka yang tetap tenang dan penuh harap meski dalam kesalahan, karena mereka memahami bahwa segala sesuatu terjadi atas kehendak Allah. Dengan menjaga keseimbangan antara rasa takut dan harap, serta senantiasa bertaubat, kita bisa meraih kedekatan dengan Allah yang sesungguhnya.

Pesan Akhir:
"Jangan jadikan amalmu sebagai sandaran, tetapi jadikan Allah sebagai satu-satunya tempat bergantung. Karena, di balik setiap ketaatan dan kemaksiatan, ada rahmat-Nya yang selalu menanti."