Ad Code

Responsive Advertisement

Hukum Asal dalam Metode Qiyas

Qiyas adalah salah satu metode penting dalam istinbat hukum Islam yang memiliki empat rukun utama. Salah satu rukun tersebut adalah hukum asal. Dalam pembahasan ini, kita akan mengupas secara rinci enam aspek utama terkait hukum asal dalam Qiyas, yang menjadi pijakan utama dalam menyusun analogi hukum syariat.

Definisi Hukum Asal

Dalam kajian qiyas, salah satu elemen esensial adalah hukum asal (hukm al-asl). Istilah ini merujuk pada hukum syar’i yang menjadi dasar dalam proses analogi hukum. Berikut elaborasi tentang apa yang dimaksud dengan hukum asal menurut perspektif ushul fikih:

Pengertian Hukum Asal

Secara sederhana, hukum asal adalah ketentuan syariat yang telah ditetapkan melalui sumber-sumber hukum utama Islam, yakni:

  1. Nash Al-Qur’an,
  2. Hadis Nabi, atau
  3. Ijma’ (kesepakatan ulama).

Hukum asal ini dijadikan rujukan untuk menetapkan hukum yang serupa pada kasus baru (furu’) yang belum memiliki nash secara langsung. Dengan kata lain, tujuan hukum asal adalah untuk memberikan dasar hukum serupa bagi kasus yang memiliki illat (kausa hukum) yang sama.

Esensi Hukum Asal dalam Qiyas

Ada dua definisi yang memperjelas hakikat hukum asal:

  1. Sebagai Ketentuan Syar’i yang Ditetapkan oleh Nash
    Hukum asal adalah hukum yang telah ditetapkan melalui nash atau ijma’, baik berupa perintah, larangan, ataupun kebolehan. Fungsinya dalam qiyas adalah memberikan pijakan untuk menetapkan hukum yang sama pada kasus baru.

    • Contoh: Hukum keharaman khamr dalam Al-Qur’an digunakan sebagai hukum asal untuk menetapkan keharaman zat memabukkan lain yang serupa, seperti narkotika.
  2. Sebagai Konsekuensi dari Illat Hukum
    Hukum asal juga dapat dipahami sebagai hasil dari keberadaan illat—sebab atau alasan hukum—yang membawa kepada penetapan suatu ketentuan. Dalam konteks ini, hukum asal meliputi berbagai aspek seperti:

    • Halal atau haram (penghalalan atau pengharaman suatu tindakan),
    • Wajib atau gugurnya kewajiban (penetapan kewajiban atau kebebasan dari kewajiban),
    • Sah atau tidak sah (keabsahan suatu tindakan hukum).

Sebagai contoh, keharusan membayar zakat pada harta yang berkembang (illat) menjadikan hukum asal zakat pada emas dan perak juga berlaku untuk uang sebagai analoginya.

2. Syarat-Syarat Hukum Asal

Dalam qiyas, hukum asal adalah salah satu rukun utama yang menjadi landasan analogi antara kasus asal (maṣdar) dan kasus baru (far’). Agar qiyas dapat dianggap sah, terdapat sejumlah syarat yang harus dipenuhi oleh hukum asal. Berikut adalah penjelasan rinci terkait syarat-syarat tersebut:

1. Hukum Asal Harus Tetap Berlaku dalam Syar’i

Hukum asal yang dijadikan rujukan dalam qiyas harus benar-benar telah ditetapkan dan berlaku dalam syariat Islam. Jika hukum asal belum pernah disyariatkan atau sudah dihapuskan (mansukh), maka tidak dapat dijadikan dasar qiyas.
Alasannya: Qiyas mensyaratkan keberadaan hukum asal yang stabil dan tetap agar dapat digunakan untuk menetapkan hukum pada kasus baru. Tanpa keberadaan hukum asal, proses analogi menjadi tidak valid.

2. Hukum Asal Harus Berbasis Syariat

Hukum asal yang digunakan harus bersumber dari syariat, bukan dari hukum akal atau linguistik.
Rasionalisasi:

  • Tujuan qiyas adalah menentukan hukum syar’i untuk kasus baru, baik menetapkannya (itsbāt) maupun menolaknya (nafī).
  • Jika hukum asal tidak bersifat syar’i—seperti aturan bahasa atau logika murni—maka hasil qiyas juga tidak akan menjadi hukum syar’i. Dengan demikian, tujuan qiyas sebagai alat penetapan hukum syariat menjadi tidak tercapai.

3. Hukum Asal Harus Ditetapkan Melalui Dalil Syariat

Hukum asal harus diketahui keberadaannya melalui dalil syar’i, baik berupa nash (Al-Qur’an atau Hadis) maupun ijma’ (kesepakatan ulama).
Penjelasan Lebih Lanjut:

  • Jika hukum asal tidak memiliki landasan syar’i, maka hukum tersebut tidak dapat digunakan dalam qiyas.
  • Jika hukum asal tidak ditetapkan melalui nash tetapi melalui ijma’, hal ini tetap sah karena ijma’ adalah sumber hukum yang sah. Bahkan, jika qiyas diperbolehkan pada hukum yang ditetapkan melalui khabar wahid (hadis yang diriwayatkan oleh satu orang), maka lebih utama lagi untuk menerima ijma’ sebagai dasar qiyas.

4. Hukum Asal Tidak Ditetapkan melalui Qiyas Lain

Hukum asal yang digunakan dalam qiyas tidak boleh didasarkan pada hasil qiyas terhadap hukum asal lain.
Sebabnya:

  • Hal ini akan menimbulkan kerumitan yang tidak perlu.
  • Jika illat yang digunakan sudah ada di hukum asal pertama, maka lebih baik langsung merujuk kepada hukum asal tersebut tanpa melalui perantara hukum asal kedua.
  • Sebagai contoh: Mengukur hukum zurra (jagung) berdasarkan hukum aruzz (beras) karena kesamaan sifat ṭaʿm (rasa), kemudian mengukur hukum aruzz dari hukum bur (gandum). Proses ini dapat disederhanakan dengan langsung mengukur zurra pada bur.

5. Dalil Hukum Asal Tidak Mencakup Kasus Baru Secara Langsung

Dalil yang menetapkan hukum asal tidak boleh secara langsung mencakup hukum pada kasus baru (far’).
Penjelasan:

  • Jika dalil hukum asal telah mencakup kasus baru, maka hukum pada kasus baru tersebut telah ditetapkan melalui dalil nash, sehingga qiyas menjadi tidak diperlukan.

6. Hukum Asal Tidak Lebih Baru daripada Kasus Baru

Hukum asal tidak boleh ditetapkan setelah hukum pada kasus baru.
Logika:

  • Jika hukum asal datang belakangan, maka illat pada hukum asal belum ada ketika hukum pada kasus baru ditetapkan. Ini bertentangan dengan prinsip bahwa qiyas bergantung pada keberadaan illat.
  • Contoh: Mengqiyaskan hukum wudhu pada hukum tayamum dalam syarat niat tidak dapat diterima karena hukum tayamum datang lebih belakangan daripada hukum wudhu.

Catatan Penting:
Jika kasus baru memiliki dalil selain qiyas, maka keberadaan hukum asal yang datang lebih belakangan tidak menjadi masalah karena hukum tersebut tidak semata-mata bergantung pada qiyas.

7. Hukum Asal Harus Memiliki Illat yang Dapat Dipahami

Hukum asal yang digunakan harus bersifat ma’qul al-ma’na (dapat dipahami illat-nya).
Alasannya:

  • Qiyas memerlukan adanya illat yang menjadi penghubung antara hukum asal dan kasus baru.
  • Jika illat pada hukum asal tidak dapat dipahami, maka tidak mungkin untuk menetapkannya pada kasus baru.
  • Contoh kasus yang tidak dapat dijadikan dasar qiyas adalah jumlah rakaat salat, yang merupakan perkara ta’abbudi (berdasarkan perintah tanpa alasan logis yang diketahui).

3. Tidak Wajib Adanya Dalil Khusus untuk Menetapkan Hukum Asal

“Tidak disyaratkan adanya dalil khusus untuk membolehkan qiyas pada hukum asal” merupakan salah satu prinsip penting dalam pengaplikasian qiyas dalam hukum Islam. Berikut adalah penjelasan mendalam mengenai kaidah ini:

Prinsip Dasar

Tidak disyaratkan adanya dalil khusus yang secara eksplisit membolehkan penerapan qiyas pada suatu hukum asal. Artinya, selama hukum asal memiliki sifat yang dapat diidentifikasi sebagai illat (alasan hukum), maka hukum asal tersebut bisa dijadikan dasar qiyas tanpa memerlukan pembuktian dalil eksplisit tentang kebolehannya.

Pendapat ini dipegang oleh sejumlah ulama besar seperti Al-Ghazali, Al-Razi, Al-Shafi'i Al-Hindi, dan Ibn Al-Subki. Mereka menegaskan bahwa kebolehan qiyas tidak tergantung pada keberadaan dalil eksplisit yang menunjukkan bahwa hukum asal tersebut bisa diqiyaskan.

Dalil-Dalil Pendukung

Ada tiga argumen utama yang mendukung prinsip ini:

1. Argumen dari Dalil Umum Kebolehan Qiyas

Dalil-dalil yang menetapkan bahwa qiyas adalah hujjah (landasan hukum) secara umum juga mendukung penerapan qiyas pada hukum asal tanpa memerlukan syarat adanya dalil khusus.

  • Dalil-dalil tersebut menunjukkan bahwa selama hukum asal memiliki illat yang jelas, qiyas dapat diterapkan. Tidak ada ketentuan dalam syariat yang membatasi qiyas hanya pada hukum asal yang didukung dalil eksplisit kebolehannya.

2. Praktik Para Sahabat

Sahabat Nabi Muhammad SAW sering menggunakan qiyas dalam menyelesaikan persoalan hukum, tetapi mereka tidak mensyaratkan adanya dalil eksplisit tentang kebolehan qiyas pada hukum asal tertentu.

  • Tidak ditemukan riwayat yang menunjukkan bahwa para sahabat mencari dalil khusus sebelum menetapkan qiyas. Hal ini menjadi bukti bahwa syarat tersebut tidak relevan dalam penerapan qiyas.

3. Konsep Illat dan Prinsip Kerja Berdasarkan Dugaan yang Kuat

Jika hukum asal diyakini memiliki illat tertentu yang relevan, dan illat tersebut juga ditemukan pada kasus baru (far’), maka hal ini memberikan dugaan kuat bahwa hukum kasus baru sama dengan hukum asal.

  • Dalam Islam, hukum dapat ditetapkan berdasarkan dugaan yang kuat (ghalabatuz zhan), sehingga tidak diperlukan dalil khusus untuk setiap penerapan qiyas. Dengan demikian, kebolehan qiyas pada hukum asal cukup didukung oleh keberadaan illat yang dapat diterapkan pada kasus baru.

4. Tidak Disyaratkan Ijma’ atas Keberadaan Illat dalam Hukum Asal

Dalam qiyas, terdapat pendapat penting yang menegaskan bahwa hukum asal tidak memerlukan kesepakatan ijma’ bahwa hukum tersebut memiliki illat (alasan hukum) yang ditetapkan berdasarkan nash (teks eksplisit). Hal ini membuka peluang bagi fleksibilitas qiyas dengan landasan yang lebih luas, termasuk melalui metode rasional.

Jika hukum asal telah ditetapkan berdasarkan dalil syar'i, seperti Al-Qur'an atau Hadis, maka hukum tersebut dapat dijadikan sebagai dasar qiyas tanpa syarat adanya ijma’ yang menyepakati bahwa hukum itu memiliki illat atau bahwa illat tersebut dinyatakan secara eksplisit dalam nash. Bahkan jika illat tersebut ditemukan melalui metode rasional (at-thuruq al-‘aqliyyah az-zanniyyah), qiyas tetap dianggap sah.

Pendapat Ulama

Beberapa ulama yang mendukung pandangan ini meliputi:

  1. Imam Asy-Syirazi
  2. Imam Ar-Razi
  3. As-Shafi' Al-Hindi
  4. Ibnu Subki

Mereka menegaskan bahwa tidak adanya ijma’ atau ketiadaan nash eksplisit yang menunjukkan illat pada hukum asal bukanlah penghalang untuk menerapkan qiyas selama illat tersebut dapat diidentifikasi secara sah melalui metode rasional.

Dalil dan Argumentasi

Pendapat ini didukung oleh beberapa dalil, termasuk tiga argumen dari pembahasan sebelumnya:

  1. Praktik Sahabat
    Para sahabat Nabi ﷺ sering kali menggunakan qiyas terhadap hukum asal yang tidak memiliki ijma’ atau nash eksplisit terkait illatnya. Mereka menganalogikan hukum baru berdasarkan karakteristik yang relevan dengan hukum asal melalui penalaran yang sahih.
  2. Keterbatasan Nash
    Nash (teks syariat) bersifat terbatas jumlahnya, sementara permasalahan yang dihadapi umat manusia terus berkembang. Jika disyaratkan adanya ijma’ untuk setiap hukum asal, maka penerapan qiyas akan menjadi terlalu sempit dan tidak efektif dalam menghadapi kasus baru.
  3. Fungsi Illat sebagai Jembatan
    Illat dalam qiyas berfungsi sebagai jembatan logis yang menghubungkan hukum asal dengan hukum cabang (furu’). Selama illat ini dapat dikenali dengan metode rasional yang valid, tidak ada alasan untuk membatasi qiyas hanya pada hukum asal yang memiliki ijma’ atau nash eksplisit terkait illatnya.

Contoh Penerapan

Sebagai contoh, para sahabat melakukan qiyas pada kasus pembebasan budak terhadap hukuman tertentu, meskipun tidak ada ijma’ atau nash eksplisit yang menunjukkan illat pembebasan budak tersebut. Mereka menggunakan pendekatan rasional untuk menilai relevansi illat dengan tujuan hukum Islam (maqasid syariah).

5. Tidak Disyaratkan Hukum Asal Bebas dari Jumlah Tertentu

Dalam pembahasan qiyas, salah satu isu yang kerap diperdebatkan adalah apakah hukum asal harus bebas dari batasan jumlah tertentu (ghair mahshur) agar dapat digunakan dalam qiyas. Menurut pendapat yang lebih kuat, tidak ada syarat bahwa hukum asal harus bersifat umum atau tidak terbatas jumlahnya. Qiyas tetap sah dilakukan, baik hukum asalnya terbatas pada jumlah tertentu (mahshur) maupun tidak.

1. Argumen Tidak Disyaratkannya Bebas Jumlah

  • Pandangan Ulama
    Para ulama seperti Imam Fakhruddin Ar-Razi dan Shafiyuddin Al-Hindi menyatakan bahwa hukum asal yang terbatas jumlahnya tetap dapat menjadi dasar qiyas. Tidak ada keharusan bahwa hukum asal harus bersifat tidak terbatas (universal) untuk menjamin validitas qiyas.

  • Dasar Pengambilan Kesimpulan
    Dalil tentang kebolehan qiyas pada hukum asal yang terbatas bersandar pada tiga argumen utama yang telah dijelaskan dalam pembahasan sebelumnya. Selain itu, kebolehan ini juga didukung oleh fakta bahwa hukum asal dalam larangan riba fadhl (riba kelebihan) pada enam jenis benda tetap digunakan dalam qiyas, meskipun benda-benda tersebut memiliki jumlah yang terbatas.

2. Contoh Penerapan

  • Larangan Riba pada Enam Jenis Benda
    Contoh klasik adalah larangan riba fadhl pada enam jenis benda: emas, perak, gandum, jelai, kurma, dan garam. Meskipun terbatas pada enam jenis saja, para ulama menggunakan hukum ini sebagai dasar untuk mengembangkan hukum qiyas terhadap benda-benda lain yang memiliki illat serupa, seperti komoditas keuangan modern atau makanan pokok lainnya.

3. Menanggapi Pendapat yang Berbeda

Sebagian ulama yang mewajibkan hukum asal bersifat tidak terbatas berargumen bahwa pembatasan jumlah melemahkan analogi. Namun, pandangan ini dijawab dengan menunjukkan bahwa batasan jumlah tidak menghilangkan validitas illat. Selama illat pada hukum asal dapat diterapkan pada cabang (far’u), qiyas tetap dianggap sah.

6. Penggunaan Hukum Asal yang Berbeda dari Kaidah Umum

Apakah Dapat Dikiaskan kepada Hukum Asal yang Berbeda dari Kaidah Qiyas? Dalam ushul fikih, hukum asal sering kali digunakan sebagai dasar analogi dalam menetapkan hukum baru. Namun, ada situasi di mana hukum asal tersebut menyimpang dari kaidah umum qiyas.

Pembahasan ini mencakup analisis tentang kemungkinan dikiaskannya hukum baru kepada hukum asal yang keluar dari kaidah qiyas.

Pengertian Hukum Asal yang Berbeda dari Kaidah Qiyas

Hukum asal yang keluar dari kaidah qiyas tidak berarti bahwa ia mengabaikan maslahat. Sebaliknya, ia menyimpang dari aturan atau pola umumnya karena mempertimbangkan maslahat yang lebih besar, lebih spesifik, atau karena kebutuhan syar'i tertentu. Contoh:

  • Hukum asal dalam jual beli: Secara umum, jual beli barang yang belum ada (ma'dum) tidak diperbolehkan. Namun, hal ini diperbolehkan dalam kasus salam dan ijarah untuk memberikan kemudahan kepada mukallaf.
  • Hukum asal dalam jinayah: Setiap individu bertanggung jawab atas kesalahannya sendiri. Namun, untuk kasus denda akibat pembunuhan tidak sengaja (diyat khata'), tanggung jawabnya dibebankan kepada keluarga besar (aqilah) demi meringankan beban pelaku.

Pembagian Hukum yang Keluar dari Kaidah Qiyas

Hukum yang keluar dari kaidah qiyas terbagi menjadi beberapa jenis, berdasarkan sifatnya dan kemungkinan dijadikan landasan qiyas. Berikut adalah pembagian dan penjelasannya:

  1. Hukum yang Disimpangkan dari Kaidah Umum Tanpa Penalaran Illat (Tidak Dapat Dipahami Alasannya)

    • Hukum: Tidak boleh dikiaskan kepada hukum ini, karena sifatnya spesifik dan tidak memiliki illat yang dapat diterapkan pada kasus lain.
    • Contoh: Rasulullah membolehkan Abu Burdah bin Niyar berkurban dengan kambing muda (jadz'ah) yang tidak memenuhi kriteria umum, dengan sabdanya: "Ini hanya berlaku untukmu, bukan untuk orang lain setelahmu."
    • Alasan: Hukum ini bersifat khusus dan bertentangan dengan kaidah umum secara eksplisit.
  2. Hukum yang Disimpangkan dari Kaidah Umum dengan Penalaran Illat (Dapat Dipahami Alasannya)

    • Hukum: Ada perbedaan pendapat, tetapi mayoritas ulama ushul membolehkan qiyas pada hukum ini jika illatnya jelas.
    • Contoh: Kebolehan bai' al-‘araya (penjualan kurma basah di pohon dengan taksiran setara kurma kering). Meskipun melanggar larangan umum muzabanah (jual beli kurma dengan kurma), hukum ini diberikan sebagai dispensasi bagi orang miskin.
    • Alasan: Karena illat berupa kebutuhan mendesak dapat diidentifikasi, hukum ini bisa menjadi dasar qiyas.
  3. Hukum yang Tidak Berasal dari Kaidah Umum dan Tidak Memiliki Illat yang Dipahami

    • Hukum: Tidak boleh dikiaskan karena tidak ada illat yang dapat dijadikan dasar penalaran.
    • Contoh: Penetapan jumlah rakaat dalam salat wajib.
    • Alasan: Hukum ini tidak memiliki dasar illat yang rasional dan hanya bersifat ta'abbudi (berdasarkan perintah ibadah murni).
  4. Hukum yang Berdiri Sendiri, Bersifat Rasional, tetapi Tidak Memiliki Padanan atau Contoh yang Sejenis

    • Hukum: Tidak dapat dikiaskan karena tidak ada kasus lain yang sebanding untuk dianalogikan.
    • Contoh: Kebolehan menyapu khuf (sepatu) dalam wudu karena kemudahan melepas dan memasangnya.
    • Alasan: Tidak ada objek lain yang memiliki illat serupa sehingga tidak memungkinkan adanya analogi.
  5. Hukum yang Berdiri Sendiri, Rasional, dan Memiliki Padanan

    • Hukum: Dapat dikiaskan dengan kesepakatan ulama.
    • Contoh: Penetapan hukum pada zakat emas dan perak dapat dianalogikan pada uang kertas modern.
    • Alasan: Hukum ini memiliki illat yang jelas dan dapat diterapkan pada objek lain dengan karakteristik serupa.

Penutup

Pembahasan mengenai hukum asal dalam qiyas menunjukkan bagaimana prinsip ini memainkan peran kunci dalam menjawab tantangan hukum Islam terhadap kasus-kasus kontemporer. Dengan mempertimbangkan illat dan relevansi hukum asal, qiyas memberikan solusi yang dinamis dan fleksibel dalam kerangka syariat.

Apakah Anda memiliki pandangan atau contoh menarik lainnya terkait hukum asal dalam qiyas? Mari berdiskusi lebih jauh!