Ad Code

Responsive Advertisement

Definisi Wakaf yang Komprehensif dari Segi Etimologi sampai Hukum

definisi wakaf
Gambar wakaf dompet dhuafa

Wakaf, sebagai konsep amal yang sudah ada sejak lama, memiliki akar yang mendalam dalam ajaran Islam. Dengan berbagai pandangan dari para ulama dan peraturan di berbagai negara, memahami definisi wakaf dari berbagai sudut pandang bisa sangat membantu dalam memperluas pemahaman kita tentang praktik ini.

Artikel buletinassalamualaikum.blogspot.com akan mengeksplorasi definisi wakaf secara etimologi, terminologi, serta bagaimana hal ini diatur dalam berbagai undang-undang. Mari kita telusuri lebih dalam bagaimana wakaf diartikan dan diterapkan di berbagai konteks.

Definisi Wakaf Secara Etimologi

Secara bahasa, para ahli menggunakan beberapa istilah untuk menjelaskan konsep wakaf وَقْفٌ, yaitu: al-waqf (wakaf), al-habs (menahan), dan at-tasbil (berderma untuk tujuan mulia). Ketiganya menggambarkan tindakan yang mirip, yaitu menahan sesuatu untuk tujuan amal atau ibadah.

Kata al-waqf sendiri berasal dari ungkapan waqfu asy-syai’, yang berarti "menahan sesuatu." Ini seperti yang digambarkan oleh Imam Antarah yang menyatakan bahwa untanya tertahan di suatu tempat, seolah-olah ia tahu pemiliknya dapat berlindung di sana. Konsep menahan di sini merujuk pada tindakan mengalokasikan sesuatu untuk tujuan tertentu, sehingga benda tersebut tidak lagi dimiliki secara pribadi, tetapi dialokasikan untuk kepentingan umum atau ibadah.

Ibn Manzur dalam karyanya Lisan al-Arab menjelaskan bahwa kata habasa berarti amsakahu atau "menahannya." Ini berkaitan dengan tindakan menahan harta untuk tujuan wakaf, seperti dalam ungkapan habbasa al-faras fi sabilillah yang berarti "ia mewakafkan kuda di jalan Allah."

Al-Fairuzabadi dalam al-Qamus al-Muhit menambahkan bahwa al-habsu juga dapat berarti al-man’u (mencegah atau melarang) dan al-imsak (menahan). Jadi, ketika sesuatu dijadikan wakaf, artinya benda tersebut ditahan dari penggunaan lain yang tidak sesuai dengan tujuan wakaf, seperti penjualan atau pewarisan.

Selain itu, Az-Zubaidi dalam kamus Taj al-‘Arus menyatakan bahwa al-habsu memiliki makna yang lebih luas, termasuk "mencegah" dan "menahan." Pemakaian kata ini menunjukkan bahwa sesuatu yang diwakafkan tidak bisa dijual atau diwariskan, melainkan dipertahankan untuk tujuan amal yang abadi.

Jadi, baik kata al-habs maupun al-waqf memiliki makna dasar yang sama, yaitu "menahan." Tindakan menahan ini berarti bahwa harta yang diwakafkan dijaga dari kerusakan atau tindakan yang tidak sesuai dengan tujuan wakaf. Manfaat dari harta tersebut dialirkan kepada mereka yang berhak, sesuai dengan niat wakif (orang yang berwakaf) dan syariat Islam.

Mauquf (objek wakaf) adalah benda yang diwakafkan dan tidak boleh dijual atau diwariskan. Dengan demikian, wakaf dapat dipahami sebagai tindakan menahan harta dari penggunaan pribadi, untuk dimanfaatkan secara berulang-ulang bagi kepentingan umum sesuai dengan tujuan yang diinginkan oleh wakif, dalam koridor syariat Islam.

Definisi Wakaf Secara Terminologi

Definisi wakaf secara terminologi sangat erat kaitannya dengan istilah dalam fikih, sehingga pendapat para ulama fikih sangat penting untuk dikemukakan di sini.

Wakaf Menurut Ulama Hanafiyah

Ketika berbicara tentang wakaf, ulama Hanafiyah memisahkan antara definisi yang diberikan oleh Imam Abu Hanifah sendiri dengan para pengikutnya. Al-Marginani mengutip definisi dari Abu Hanifah yang menyatakan bahwa wakaf adalah menahan substansi harta pada kepemilikan wakif dan menyedekahkan manfaatnya.

Mayoritas ulama Hanafiyah yang meriwayatkan definisi ini dari Abu Hanifah berpendapat bahwa definisi wakaf ini belum sepenuhnya menjelaskan makna wakaf. Kamal bin Himam mengatakan bahwa berdasarkan definisi ini, seorang wakif masih bisa menjual harta tersebut jika dia menginginkannya. Hak kepemilikan juga masih ada padanya, sebagaimana sebelum dia memberikan manfaat harta itu sebagai sedekah. Hal ini karena wakif hanya menyatakan niat untuk menyedekahkan manfaat harta, sehingga dia dapat memutuskan amalnya kapan saja, seperti sebelum dia mewakafkannya.

Ibn Abidin juga meriwayatkan dari Abu Hanifah yang mendefinisikan wakaf sebagai menahan substansi harta dengan memberikan legalitas hukum pada kepemilikan wakif dan menyedekahkan manfaat harta tersebut, meskipun secara global.

Jika kita analisis lebih lanjut, Ibn Abidin telah menambahkan kata "hukum" (legalitas hukum) setelah kata "pada" dan menambahkan "meskipun secara global" dalam definisi tersebut. Ia sengaja memberikan tambahan kata dalam definisi tersebut agar lebih sesuai dengan pengertian wakaf yang lazim. Kata "hukum" dalam definisi di atas berarti bahwa jika wakaf sudah menjadi pasti, maka secara otomatis wakaf tersebut telah beralih kepemilikannya dari wakif.

Asy-Syarakhsi mendefinisikan wakaf sebagai menahan harta yang dimiliki dari jangkauan kepemilikan orang lain.

Penyebutan kata "menahan" dalam definisi ini adalah untuk mengecualikan harta-harta yang tidak termasuk sebagai harta wakaf. Penyebutan kata "milik" berarti membatasi harta yang tidak bisa dianggap sebagai milik wakif. Misalnya, jika wakif bukan merupakan pemilik harta yang akan diwakafkan pada saat penyerahan, maka wakafnya tidak sah sampai kepemilikan harta itu secara utuh ada padanya. Adapun pengertian "dari kepemilikan orang lain" menegaskan bahwa harta yang akan diwakafkan tidak boleh dimanfaatkan untuk kepentingan wakif sendiri, seperti untuk jual-beli, hibah, atau sebagai jaminan.

Menurut Abu Yusuf dan Muhammad, wakaf ditahan sebagai milik Allah SWT., dan manfaatnya diberikan kepada mereka yang dikehendaki. Tambahan kata "milik Allah" ini mempertegas bahwa harta tersebut sudah tidak lagi menjadi milik wakif dan tidak berpindah kepada orang lain, melainkan menjadi milik Allah. Dengan wakaf, unsur kepemilikan harta sepenuhnya menjadi milik Allah, dan manfaat harta itu diperuntukkan bagi seluruh hamba-Nya serta dikelola untuk kepentingan umat.

Wakaf Menurut Ulama Malikiyah

Al-Khatab menyebutkan definisi dari Ibn 'Arafah al-Maliki yang menyatakan bahwa wakaf adalah memberikan manfaat sesuatu pada batas waktu keberadaannya, bersamaan dengan tetapnya sesuatu yang diwakafkan pada pemiliknya, meskipun hanya perkiraan.

Penyebutan kalimat "memberikan manfaat" dimaksudkan untuk mengecualikan pemberian barang, seperti hibah. Karena orang yang berhibah memberikan barang kepada orang yang menerima hibah. Kalimat "sesuatu" mengacu pada apa pun selain manfaat uang atau yang dapat diuangkan, karena sesuatu tersebut cakupannya lebih umum, hanya saja dikhususkan dengan definisi tetapnya kepemilikan. Kalimat "batas waktu keberadaannya" adalah penjelasan untuk sesuatu yang dipinjamkan dan sesuatu yang dikelola, karena orang yang meminjamkan berhak untuk menarik barang yang dipinjamkan.

Kalimat "tetapnya wakaf dalam kepemilikan si pemberi wakaf" menjelaskan bahwa orang yang diberi wakaf ibarat seorang hamba yang melayani tuannya hingga meninggal. Artinya, penerima wakaf tidak memiliki hak milik atas harta wakaf yang dijaganya itu. Kalimat "meskipun hanya perkiraan" dimaksudkan untuk menjelaskan kepemilikan atau pemberian.

Lebih dari sekadar definisi wakaf yang telah dijelaskan di atas, barangkali definisi wakaf menurut as-Sawi dalam kitab "Balaghah as-Salik" lebih mencakup semua jenis wakaf, dan pada saat yang sama ia juga mengemukakan pendapat mazhab Maliki dengan jelas. Definisi wakaf menurutnya adalah menjadikan manfaat barang yang dimilikinya atau hasilnya kepada orang yang berhak sepanjang waktu yang ditentukan oleh wakif. Di sini, ia mempertegas makna pembatasan waktu sesuai dengan keinginan wakif, dan bukan hanya karena adanya harta benda wakaf itu sendiri, seperti yang dijelaskan oleh Ibn 'Arafah.

Wakaf Menurut Ulama Syafi‘iyah

Dalam kitab Tahrir al-Faz al-Tanbih*, Imam Nawawi yang bermazhab Syafi‘i mendefinisikan wakaf sebagai penahanan harta yang bisa dimanfaatkan dengan tetap menjaga keutuhan barangnya, terlepas dari campur tangan wakif atau lainnya, dan hasilnya disalurkan untuk kebaikan semata-mata dan untuk mendekatkan diri kepada Allah.

Definisi ini menegaskan bahwa wakaf berarti melepaskan harta dari kepemilikan wakif, baik dari campur tangan wakif maupun pihak lain, dengan hasilnya disalurkan demi kebaikan dan mendekatkan diri kepada Allah SWT.

Menurut Ibn Hajar al-Haitami, wakaf adalah menahan harta yang bisa dimanfaatkan dengan menjaga keutuhan harta tersebut, sambil memutus kepemilikan barang dari pemiliknya untuk hal-hal yang dibolehkan. Al-Minawi juga mendefinisikan wakaf sebagai menahan harta benda yang dimiliki dan menyalurkan manfaatnya dengan tetap menjaga pokok barang dan keabadiannya, yang berasal dari para dermawan atau pihak umum, serta menghindari harta maksiat semata-mata karena ingin mendekatkan diri kepada Allah SWT.

Definisi yang lebih komprehensif dari ulama Syafi‘iyah datang dari al-Qalyubi, yang menyatakan bahwa wakaf adalah menahan harta yang bisa diambil manfaatnya dengan menjaga bentuk aslinya untuk disalurkan kepada jalan yang dibolehkan.

Penyebutan kata habs artinya menahan dan berarti juga al-man’u (mencegah), berkedudukan sebagai jenis yang mencakup semua bentuk habs, seperti rahn (gadai) dan hajr (sita jaminan). Kata mahl sebagai penjelas kata habs, sehingga tidak termasuk di dalamnya segala sesuatu yang bukan harta, seperti arak dan babi, karena menurut kaum Muslimin keduanya bukanlah harta. Kalimat yumkinu al-intifa’ bihi ma’a baqa’ ainihi adalah kalimat penjelas yang mengecualikan barang riil yang tidak bisa diambil manfaatnya, seperti wangi-wangian dan makanan. Adapun kata ‘ala masarif mubah juga sebagai penjelas, yang berfungsi membatalkan wakaf jika diberikan kepada jalur yang tidak mubah, seperti memberikan wakaf kepada orang yang sering memerangi umat Islam atau orang yang senang berbuat maksiat.

Beberapa ulama Syafi‘iyah menambahkan kata mawjud (ada) dalam definisi di atas, setelah kata ‘ala masarif mubah, untuk menegaskan persyaratan bahwa penerima wakaf harus ada ketika penyerahan harta wakaf. Sebagian lainnya menambahkan bi qathi’ at-tasarruf fi raqabati (dengan memutuskan kepemilikan barang tersebut dari pemiliknya), untuk mengecualikan harta-harta lain yang ditahan, yang bukan termasuk wakaf. Misalnya, gadai merupakan barang yang tidak terputus kepemilikannya, berbeda dengan wakaf, di mana pemiliknya tidak mempunyai hak kepemilikan lagi. Namun, menurut al-Qalyubi, penambahan tersebut tidak perlu, karena kata habs artinya al-man’u min at-tasarruf (mencegah dari pembelanjaan). Jadi, tambahan kalimat memutuskan kepemilikan barang tersebut dari pemiliknya hanyalah pengulangan kalimat yang tidak ada manfaatnya, karena ia hanya penjelas dari kata habs, bukan sebagai penjelas dari definisi wakaf.

Wakaf Menurut Ulama Hanabilah

Menurut Ibn Qudamah, salah seorang ulama Hanabilah, wakaf adalah menahan yang asal dan memberikan hasilnya. Sedangkan Syamsuddin al-Maqdisi al-Hanbali mendefinisikan wakaf dengan menahan yang asal dan memberikan manfaatnya.

Definisi wakaf menurut ulama Hanabilah ini berasal dari hadis Nabi Saw. kepada Umar bin Khatab ra., “Tahanlah asalnya dan alirkanlah hasilnya.” Maksud dari kata "asal" adalah barang yang diwakafkan dan maksud dari kalimat “mengalirkan manfaat” adalah memberikan manfaat barang yang diwakafkan, berupa keuntungan dan hasilnya, untuk kemaslahatan umat.

Al-Kabisi memberikan analisis terhadap definisi ini: pertama, definisi ini tidak menyebutkan orang yang akan mengurusi kepemilikan harta wakaf setelah diwakafkan. Kedua, definisi ini tidak memuat tambahan definisi lain secara rinci, seperti syarat mendekatkan diri kepada Allah, atau tetapnya kepemilikan wakif, atau keluarnya wakif dari kepemilikannya dan perincian lainnya.

Wakaf Menurut Ulama Kontemporer

Mengacu pada pemahaman definisi wakaf yang dikembangkan oleh para ulama, Munzir Qahaf memberikan definisi wakaf Islam yang lebih sesuai dengan hakekat hukum, muatan ekonomi, dan peranan sosialnya, yaitu:

"Wakaf adalah menahan harta baik secara abadi maupun sementara, untuk dimanfaatkan langsung atau tidak langsung, dan diambil manfaat hasilnya secara berulang-ulang di jalan kebaikan, baik untuk kepentingan umum maupun khusus."

Definisi ini mencakup delapan aspek penting:

  1. Penahanan Harta: Definisi ini menunjukkan bahwa wakaf melibatkan penahanan harta agar tidak dikonsumsi atau digunakan untuk kepentingan pribadi. Ini menunjukkan nilai ekonomi harta dan manfaat yang diberikan, seperti sekolah, kendaraan, atau masjid.
  2. Jenis Harta: Wakaf mencakup berbagai jenis harta, baik yang tetap dan tidak bergerak seperti tanah dan bangunan, maupun benda bergerak seperti buku dan senjata. Ini juga mencakup uang seperti deposito, serta manfaat seperti pengangkutan khusus untuk orang sakit atau lanjut usia.
  3. Pelestarian Harta: Definisi ini menekankan pentingnya menjaga keutuhan harta sehingga dapat dimanfaatkan secara berulang. Ini memastikan bahwa harta atau benda yang diwakafkan tetap memberikan manfaat dan sadaqah yang terus berjalan, sesuai dengan tujuan wakaf yang digambarkan dalam ajaran Nabi Muhammad.
  4. Manfaat Berulang: Definisi ini mencakup manfaat yang dapat berulang, baik dalam jangka waktu lama, sebentar, atau selamanya. Manfaat yang berulang-ulang menunjukkan bahwa wakaf terus berlanjut, mirip dengan konsep sadaqah jariyah yang memberikan manfaat terus menerus.
  5. Wakaf Langsung dan Produktif: Definisi ini mencakup wakaf langsung yang memberikan manfaat langsung serta wakaf produktif yang menghasilkan manfaat dari produksinya, baik berupa barang, jasa, atau laba bersihnya, sesuai dengan tujuan wakaf.
  6. Kebaikan Umum dan Khusus: Definisi ini juga meliputi jalan kebaikan umum, seperti keagamaan dan sosial, serta kebaikan khusus yang manfaatnya kembali kepada keluarga, keturunan, atau orang lain yang berhubungan dengan wakif.
  7. Persetujuan Wakif: Wakaf hanya terjadi dengan keinginan waqif (pemberi wakaf) saja. Ini mencakup pengertian fikih dan perundang-undangan bahwa wakaf tidak sah kecuali atas kehendak waqif.
  8. Penjagaan dan Manfaat: Definisi ini menekankan pentingnya penjagaan harta wakaf dan kemampuannya untuk memberikan manfaat secara langsung atau dari hasilnya. Ini menentukan tugas dasar dalam pengelolaan wakaf dan perannya dalam menjaga kelestariannya serta menyalurkan manfaatnya.

Definisi ini mencakup berbagai jenis wakaf, termasuk wakaf abadi seperti tanah dan bangunan, serta wakaf sementara sesuai dengan keinginan waqif. Definisi ini mengakomodasi empat mazhab (Hanafi, Maliki, Syafi‘i, dan Hanbali) dan jenis-jenis wakaf baru seperti hak-hak bernilai uang dan wakaf manfaat. Dengan demikian, definisi ini mencoba menjembatani perbedaan pendapat dalam fikih tentang kepemilikan harta wakaf, baik yang menganggap wakaf sebagai milik waqif atau sebagai milik Allah SWT.

Definisi Wakaf Menurut Undang-undang

Definisi wakaf menurut berbagai undang-undang di beberapa negara menunjukkan keragaman dalam pemahaman dan penerapannya. Berikut adalah ringkasan definisi wakaf menurut beberapa undang-undang negara:

  1. Undang-Undang Sudan (1984): Definisi wakaf di Sudan adalah "penahanan harta yang secara hukum kemudian menjadi milik Allah dan menyedekahkan manfaatnya baik sekarang maupun di masa yang akan datang." Definisi ini tercantum dalam Undang-Undang Akhwal asy-Syakhsiyah bagi kaum Muslimin.
  2. Undang-Undang Mesir (1991): Di Mesir, wakaf didefinisikan sebagai "harta yang ditahan oleh pemiliknya, agar tidak dapat dijual, dibeli, atau diberikan sebagai pemberian, dengan syarat faedah atau keuntungan dari harta tersebut disalurkan kepada orang yang ditentukan oleh pewakaf."
  3. Undang-Undang Aljazair (1991): Menurut undang-undang ini, wakaf adalah "menahan harta benda dari kepemilikan secara abadi dan menyedekahkan hasilnya kepada orang-orang miskin atau untuk suatu kebaikan."
  4. Undang-Undang India (1995): Definisi wakaf di India adalah "mengkhususkan harta benda, baik yang bergerak maupun tidak bergerak, secara abadi dari seorang Muslim, untuk tujuan yang dibenarkan oleh syariat Islam, seperti kebaikan, keagamaan, dan sosial."
  5. Undang-Undang Kuwait (1996): Di Kuwait, wakaf didefinisikan sebagai "menahan harta dan menyalurkan manfaatnya sesuai dengan hukum-hukum dalam perundang-undangan ini." Definisi ini mencakup pemahaman bahwa wakaf manfaat diperbolehkan dan tidak ada batasan waktu tertentu.
  6. Peraturan Pemerintah Indonesia Nomor 28 Tahun 1977: Di Indonesia, wakaf adalah "perbuatan hukum seseorang atau badan hukum yang memisahkan sebagian harta kekayaannya yang berupa tanah milik dan melembagakannya selama-lamanya untuk kepentingan peribadatan atau keperluan umum lainnya sesuai dengan ajaran Islam."
    • Analisis Jaih Mubarok: Definisi ini mencakup tiga hal penting: pertama, waqif bisa berupa perorangan atau badan hukum; kedua, pemisahan tanah milik menunjukkan bahwa kepemilikan tanah wakaf berpindah menjadi milik umum; ketiga, tanah wakaf digunakan untuk kepentingan umum sesuai ajaran Islam.
  7. Kompilasi Hukum Islam (KHI): Definisi wakaf dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) di Indonesia dapat ditemukan dalam Pasal 215 ayat (1) yang berbunyi: "Wakaf adalah perbuatan hukum seseorang atau kelompok orang atau badan hukum yang memisahkan sebagian dari benda miliknya dan melembagakannya untuk selama-lamanya guna kepentingan ibadat atau keperluan umum lainnya sesuai dengan ajaran Islam". Definisi ini lebih luas dibandingkan dengan PP Nomor 28 Tahun 1977, mencakup perorangan, kelompok orang, dan badan hukum.
  8. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf: Definisi wakaf menurut undang-undang ini adalah "perbuatan hukum waqif untuk memisahkan atau menyerahkan sebagian harta benda miliknya untuk dimanfaatkan selamanya atau jangka waktu tertentu sesuai dengan ketentuannya guna keperluan ibadah atau kesejahteraan umum menurut syari’ah."
    • Analisis: Definisi ini mencakup dua hal: pertama, waqif tidak dibatasi pada perorangan atau badan hukum tertentu; kedua, durasi wakaf bisa bersifat abadi atau untuk jangka waktu tertentu, mengakui adanya wakaf mu'aqqat (jangka waktu tertentu).

 Penutup

Memahami definisi wakaf dari berbagai sudut pandang memberikan wawasan berharga tentang praktik ini dalam Islam dan aplikasinya di dunia modern. Dari penahanan harta untuk kepentingan umum, hingga berbagai peraturan hukum yang mengaturnya, wakaf memainkan peran penting dalam masyarakat.

Semoga artikel ini membantu Anda mendapatkan pemahaman yang lebih jelas tentang wakaf dan bagaimana konsep ini diimplementasikan di berbagai belahan dunia. 

Sumber: Kasdi, Dr. Abdurrohman. Fikih Wakaf: Dari Wakaf Klasik Hingga Wakaf Produktif. Penerbit: Idea Press, 2024.